watch sexy videos at nza-vids!
click here for to know ads scam... !!

Pria Beristri

Pada suatu pagi aku menerima
sepucuk surat. Ternyata surat
itu dari sahabatku Nasem yang
tinggal di Manado. Isinya dia
mengundangku datang ke sana
untuk berkangen-kangenan. Maklum telah puluhan tahun
kami terpisah jauh. Nasem di
Minahasa, Sulawesi Utara dan
aku tetap di Malang, Jawa
Timur. Dalam suratnya, Nasem
menceritakan pula tentang
keadaan Hamid (samaran,
sahabat kami pula) di Tewah.
Katanya, ia juga kangen
padaku. Yah, sesungguhnya aku pun
juga kangen pada mereka.
Kami adalah tiga sahabat
karib, yang dulu tak
terpisahkan. Lahir di kampung
yang sama, tahun yang sama pula. Tak heran orang
kampung menjuluki "Three
Brothers". Cuma bedanya,
Nasem dan Hamid sukses di
kariernya. Kini Nasem menjadi
Kepala Cabang Dealer Mobil/ Motor di Minahasa dan Hamid
menjadi pedagang antar pulau
dan tinggal di Tewah. Sedang
aku tidak. Tak banyak yang
bisa dilakukan anak petani
macam aku ini. Sayangnya, setelah 10 tahun
menikahi gadis Minahasa,
Nasem belum juga dikaruniai
anak. Beda denganku yang
harus pontang-panting
menghidupi isteri dan keempat anakku. Kalau saja Nasem tidak
membantu, mungkin aku sudah
tidak sanggup. Itulah yang
membuatku terharu. Meski
sudah makmur dan terpisah
oleh lautan, mereka masih memperhatikanku. Kembali ke surat Nasem. Ada
satu hal penting yang
disampaikannya, yaitu minta
bantuanku. Tanpa menjelaskan
apa yang dimaksudkannya. Aku
pun bingung, apa yang bisa kuperbuat untuk membantu
orang sekaya Nasem? Dengan uang yang
dikirimkannya, aku pun
berangkat memenuhi
undangannya. Istriku harus
tinggal, untuk menjaga rumah
dan anak-anak yang harus sekolah. Kepadanya aku pamit
untuk waktu barang satu dua
minggu. Lalu, setelah 5 hari 5 malam
berlayar, aku pun sampai di
tujuan. Di situ aku sudah
dijemput oleh Nasem dan
istrinya. Begitu kapal
bersandar, mataku menangkap sepasang tuan dan nyonya
melambai-lambaikan tangan.
"Nduutt.., Genduutt..!!" Teriak
mereka. Nasem masih tetap
memanggil dengan julukanku
dan bukan namaku. Dulu semasa kecil, aku memang
paling gendut dibanding Nasem
Dan Hamid. Begitu turun dari kapal, kami
saling berpelukan tanpa
canggung. Kurasakan mereka
memang rindu sekali padaku.
Acara kangen-kangenan
berlanjut sampai di rumah. Rumah Nasem besar, sedang
dipugar dan mirip rumah
pejabat. Apakah karena hal ini
ia memanggilku ke sini?
Entahlah. Praktis seharian kami
tak menyinggung soal kedatanganku, karena
keasyikan saling berkisah
selama kami berpisah. Maka pada malam kedua itulah,
sehabis makan malam, Nasem
dengan istrinya Sari
memanggilku ke ruang tamu.
Mulailah mereka membicarakan
soal "bantuan" itu. "Kira-kira apa yang bisa
kubantu, apakah mengerjakan
rumahmu ini?" tanyaku.
Kulirik, Nasem menggelengkan
kepala.
"Begini Ndut, kamu kan tahu kami sudah 10 tahun menikah,
tapi belum juga diberi
momongan. Masalahnya,
menurut dokter, aku ini
memang mandul. Jadi kami
sepakat untuk minta tolong kamu. Itu sebabnya kami
mengundangmu datang
kemari," tutur Nasem,
panjang-lebar. Tapi aku masih
bingung dengan ucapannya itu,
hingga kuminta ia menjelaskan lagi.
"Jelasnya, kami ingin sekali
punya anak walau seorang.
Tapi kutahu pasti dari dokter
bahwa aku tidak bisa
membuahi istriku karena aku mandul. Maka kuminta
bantuanmu untuk
menggantikan diriku agar kami
bisa punya anak," tuturnya
lagi dengan jelas.
"Hah.. apa? Aku harus menggantikan dirimu agar bisa
memberikan anak kepadamu,"
tanyaku, penasaran. "Yah.. begitulah maksudku,"
jawabnya, membuat aku kian
tak mengerti.
"Lalu dengan cara bagaimana
aku menggantikanmu? Kamu
kan tahu bahwa aku ini bukan 'Deddy Coubuzier' atau dukun.
Apakah aku bisa melaksanakan
permintaanmu itu Sem?"
ucapku.
"Ah kamu ini memang nggak
tahu atau pura-pura nggak tahu. Begini, kamu ini memang
bukan seorang dukun dan
permintaanku ini tidak ada
kaitannya dengan perdukunan.
Yang kuminta adalah,
kesediaanmu menggantikan diriku sebagai suami dari
istriku, untuk membuahi rahim
istriku agar kami bisa punya
anak. Sudah? Jelas tidak?"
ucap Nasem merinci, dan
nampak agak kesal juga melihat kebodohanku.
"Oh begitu maksudmu. Tapi
benarkah ucapanmu itu? Dan
apakah Sari menyetujuinya?"
tanyaku meyakinkan, seraya
memberi pertimbangan agar Nasem mengadopsi anak saja.
Menurut mereka, semula
memang berniat untuk
mengadopsi anak.
"Tapi sebaik-baiknya
mengadopsi anak, masih lebih baik punya anak dari rahim
istriku sendiri. Dan ini kalau
bisa.. ya kan sayang?" ucap
Nasem.
"Ya Mas Ndut, kami sudah
berunding sebelumnya. Dan demi keinginan kami, aku rela
menyerahkan tubuhku untuk
dibuahi Mas Ndut.." ucap Sari
pelan. Kini aku paham maksud
mereka. Tapi aku tak segera
menjawab, mendadak
terpampang buah simalakama
di mataku. Bila kuterima, ah..
itu berarti aku harus melanggar pagar ayu. Apalagi
ini istri sahabat sendiri. Dan
bila kutolak, Nasem pasti
kecewa. Itu yang pertama.
Yang kedua, aku terlanjur
datang jauh-jauh dari Jawa. Dan ketiga mengingat budi dan
jasanya yang kuterima selama
ini, kapan lagi aku bisa
membalasnya. Tapi Nasem terus mendesakku.
"Yah.. bagaimana ini ya. Sem,
kuterima atau tidak
permintaanmu ini?" kataku.
"Sudahlah Ndut, kuharap kamu
bersedia membantuku. Nggak usah risau, kami pun tak ada
perasaan apa-apa atas
bantuanmu," ucap Nasem
meyakinkan.
Aku pun tanpa sadar berucap,
"Yah baiklah. Tapi bagaimana nanti kalau gagal?" tanyaku.
"Seandainya gagal, itu bukan
kesalahanmu. Nanti kami akan
senantiasa berdoa semoga
keinginan kami ini dikabulkan,"
ucap Nasem dengan arif. Selanjutnya dengan
kesepakatan dan restu
bersama, aku diminta untuk
memulai malam itu juga. Begitu
mendengar kesediaanku
mereka permisi hendak mempersiapkan kamar tengah.
Nasem sendiri nampaknya
pindah ke kamar depan. Bantal
dan perlengkapan tidur lainnya
dibawanya ke depan. Tepat pukul 22:00 WITA, aku
dipersilakan Sari masuk ke
kamar tengah yang sudah
bersih, indah dan harum.
Terasa berat kakiku
melangkah, hingga Nasem dan Sari membimbingku masuk.
Habis itu, Nasem pun keluar,
meninggalkan aku dan Sari
berdua di kamar. "Sari, apakah kamu yakin aku
bakal bisa memberi anak
nantinya..?" tanyaku.
"Mas Ndut, secara pribadi aku
yakin kamu bakal bisa memberi
anak untukku nantinya." ucapnya manja.
"Aku tidak tega tubuhku yang
kotor ini nantinya akan
'mengobok-obok' tubuhmu
yang mulus itu."
"Mas Ndut, aku kan sudah bilang ini demi keinginan kami
berdua. Jadi tubuhku yang
mulus ini kuserahkan padamu
Mas. Ayo dekatlah kemari Mas
Ndut. Tak usah malu-malu, aku
siap bertempur Mas.." ucapnya lagi sambil menarik tanganku
ke pembaringan. Sayup-sayup kudengar pintu
jendela depan ditutup dan
dikunci.
"Lho siapa yang menutup pintu
dan jendela di luar sana itu
Sar?" tanyaku, sembari duduk di bibir ranjang.
"Oh itu pasti Mas Nasem sendiri
kok Mas Ndut," jawabnya,
seraya menjelaskan bahwa 2
pembantunya terpaksa
dipulangkan agar rencana ini berjalan mulus.
"Oh begitu!" ucapku.
"Mas Ndut aku sudah nggak
tahan nich?" ucapnya sambil
membuka seluruh pakaian yang
melekat di tubuhnya yang mulus itu. Tubuhnya yang
mulus dengan susunya yang
begitu montok dan vaginanya
yang menantang. Panas dingin
aku memandangnya. Lutut ini
gemetar dan tubuhku meriang bak kena setrum listrik 1000
watt. Aku yang biasa melihat
istriku bugil, kini jadi lain. Di rumah aku biasa tidur
dengan beralaskan tikar. Kini
aku berhadapan dengan
ranjang mewah beraroma
wangi, plus tubuh mulus
tergolek di atasnya. Tapi badanku terus menggigil
seperti terjangkit malaria
berat. Eh, Sari tiba-tiba
bangun menghampiriku dan
melepaskan seluruh pakaianku
yang sejak tadi belum kubuka. Aku cuma terbengong-bengong
saja. Lalu..
"Sekarang.. coba Mas Ndut
berbaring.." ucapnya sambil
mendorong tubuh telanjangku.
Aku menurut saja. Penisku segera menegang ketika
merasakan tangan lembut Sari
mulai beraksi.
"Wah.. wahh.. besar sekali
penismu, Mas Ndut." tangan
Sari segera mengusap-usap penis yang telah mengeras
tersebut. Segera saja penisku
yang sudah berdenyut-denyut
itu masuk ke mulut Sari. Ia
segera menjilati penisku itu
dengan penuh semangat. Kepala penisku dihisapnya
keras-keras, hingga
membuatku merintih keenakan. "Ahh.. ahh.. ohh.." aku tanpa
sadar merintih merasakan
nikmat sesaat. Menyadari
keringatku yang mengucur
dengan deras sehingga
menimbulkan bau badanku yang kurang sedap, buru-buru
aku mendorong kepala Sari
yang masih mengulum penisku
itu untuk pamit mau mandi
dulu. Lalu, kuguyur badanku
dengan segala macam sabun dan parfum yang ada di situ
kugosokkan agar badanku
harum. Tiga kran yang ada di
situ kubuka semua dan
kurasakan mana yang berbau
sedap, kupakai untuk menyegarkan badan. Bukankah
sebentar lagi aku mesti
melayani sang putri bak
bidadari?! Mungkin sudah
terlalu lama aku di kamar
mandi, terdengar Sari mengetuknya. Begitu pintu
kubuka, ah. Sari berdiri dengan
tubuh montoknya. Ohh..
Seandainya yang pamer aurat
di depanku itu istriku aku tak
akan menanti lama-lama pasti langsung kudekap dia. Tapi dia
adalah istri
sahabatku."Malaria"-ku yang
sempat sembuh waktu mandi
tadi, kini kumat lagi. Cepat-
cepat aku masuk lagi dan menguncinya. Di dalam kamar
mandi aku bimbang bagaimana
sebaiknya, kulaksanakan atau
kubatalkan saja? Akhirnya malam itu terpaksa
gagal. Hingga pukul lima pagi
aku masih belum berani
melakukannya. Melihat Sari bak
bidadari turun dari kahyangan,
memang membuatku tergiur. Tapi ketika berhadapan
dengannya nyaliku jadi ciut. Esoknya rupanya Sari melapor
pada suaminya. Dan aku
ditegur Nasem.
"Ndut, kenapa tidak kamu
laksanakan? Bukankah sudah
kami katakan." ucapnya. Aku cuma diam saja. Agar tidak
kecewa lagi, malam ini tekadku
akan kulipatgandakan untuk
melakukannya. Pukul 22.00 WITA, Nasem
meninggalkan kami berdua di
ruang tamu. Sejurus kemudian,
"Ayo Mas Ndut kita tidur yuk,"
ucap Sari manja sembari
meraih tanganku dan ditariknya ke kamar. Setelah
mengunci pintu kamar, dia
menyuruhku duduk di tepi
ranjang dan jari-jarinya yang
lentik mulai memijat pundakku.
Aneh, setelah dipijat aku menjadi lebih rileks. Dia
sorongkan wajahnya dekat
sekali dengan wajahku dan
tiba-tiba bibir kami sudah
merapat dan saling menghisap.
Lama juga kami berciuman dan juga saling memilin lidah
sementara tangan kami saling
membelai dan mengusap. Kami masih duduk berhadapan.
Lalu Sarilah yang mulai
membuka semua pakaianku. Dia
kecup leherku turun ke bawah
ke dada dan ke puting dadaku.
Sampai disini, dia menjulurkan lidahnya dan putingku dijilat-
jilat. penisku langsung
menegang, sangat keras dan
semakin keras karena
diremas-remas olehnya. Singkat kata, kami pun sudah
bertelanjang bulat dan aku
pun segera menindih badannya
yang kenyal dan padat. Karena
ada sisa kegugupan, maka aku
langsung coba memasukkan penisku ke dalam vaginanya. "Tunggu, pelan-pelan saja Mas
Ndut," bisiknya sambil mengelus
kepala kemaluanku di depan
lubangnya. Pelan-pelan sekali.
Lalu tugasnya kuambil alih dan
kulanjutkan menyentuh dan menggosokkan kepala penisku
itu. Pelan dan pelan sekali.
Terasa olehku lubangnya
semakin basah dan licin. Tiba-
tiba.. "Slepp.." masuklah penisku
ke dalam sangkarnya. Aku mulai menggenjot
perlahan-lahan. Naik turun,
naik turun. Sementara itu bibir
kami berdua tetap bertaut.
Saling kecup, saling hisap.
Tangan Sari mengusap-usap punggungku terkadang turun
ke bawah ke pantat dan
jarinya mempermainkan lubang
pantatku, geli campur enak.
Tanganku sibuk mengelus
kepalanya dan rambutnya. Semua kami lakukan dengan
pelan dan lembut. Setiap aku hampir sampai ke
puncak, Sari selalu memelukku
erat-erat sehingga aku tidak
bisa bergerak. Tepatnya, kami
berdua diam tak bergerak
sambil saling peluk dan penisku tertanam dalam di
kemaluannya. Setelah agak
reda kembali aku memompa
naik turun. Selang beberapa saat, Sari
ganti di atas. Rupanya dia
amat menyenangi posisi ini.
Ganti sekarang dia yang
memeluk dan menciumiku
sementara pantatnya bergoyang dan berputar
dengan penisku tertancap di
dalam kemaluannya. Semakin
lama semakin semangat. Sampai
akhirnya ia pun mengejang dan
mulutnya berdesis-desis dan kepalanya bergoyang-goyang
liar ke kiri dan ke kanan,
kupeluk dia dan kutekan
pantatnya sehingga sampailah
ia pada puncak kepuasannya.
Lemaslah tubuh Sari dan dia menciumi seluruh wajahku
sambil mengucapkan, "Terima
kasih ya Mas? Mas telah
melakukan tugas dengan baik..
aku sungguh tidak menyangka
Mas bisa membuatku melayang sampai ke langit yang ke-
tujuh.. (ucapnya sambil
mengecup bibirku, terus
tangannya memegang penisku
yang menurut dia jauh lebih
besar dan panjang dari punya Nasem)". Selesai tugasku maka aku pun
membalikkan badannya dan
ganti aku di atas. Kuangkat
kedua kakinya dan kubelitkan
di kedua pahaku lalu
kumasukkan penisku dan kukocok perlahan-perlahan
untuk makin lama makin cepat
dan akhirnya menyemburlah air
maniku ke dalam lubang vagina
Sari. Sari memeluk tubuhku
erat-erat dan kami pun berciuman lama. Sempat
sekitar sepuluh menit kami
diam tak bergerak dalam posisi
aku di atas badannya dan
tubuh kami tetap jadi satu
bersambung dari bawah. Tak terasa 'pekerjaan' yang
kulaksanakan ini sudah
menginjak malam ke dua belas.
"Mas Ndut, sebenarnya
menurut perhitungan saya,
haid saya sudah lewat 7 hari yang lalu," kata Sari pada
suatu malam setelah kami
kelelahan. Tapi Nasem masih
belum yakin istrinya hamil. Aku
dimintanya 'bersabar' barang
sepuluh hari atau dua minggu lagi. Bersamaan dengan itu, ia
mengirimkan uang belanja
untuk istriku dan anak-
anakku. Hingga pada suatu hari,
terhitung hampir sebulan aku
di sana. Nasem membawa
istrinya ke dokter ahli
kandungan. Tak berapa lama
mereka pun pulang dengan wajah yang cerah. Berhasil! "Oh Ndut, istriku hamil!"
katanya gembira.
Kiranya 'pekerjaanku' tak sia-
sia. Kusarankan pada mereka
untuk menjaga kandungan
Sari, hingga kelak si jabang bayi lahir. Aku sendiri, sudah
kangen pada keluargaku di
kampung. Maklum, hampir
sebulan aku meninggalkan
mereka. Tapi aku berjanji
kepada Nasem, bersedia diundang lagi seandainya
hasilnya gagal. Nasem pun tak
keberatan melepaskanku
pulang. Kebetulan dua hari lagi
ada kapal berangkat ke
Surabaya. Sorenya mereka belanja oleh-oleh untuk
keluargaku di rumah. Aduh
bukan main senangnya hati
mereka. Setelah itu aku pun
berangkat naik kapal pulang
ke kampung. Singkat cerita, sesampainya di
rumah kukatakan pada istriku
bahwa aku diminta
menyelesaikan bangunan
rumahnya. Dan istriku percaya
saja. Tapi dalam hati, aku merasa berdosa kepadanya. Delapan bulan kemudian aku
menerima surat dari Nasem
bahwa 'anaknya' telah lahir,
wanita, cantik lagi, dan
diberinya nama Ratih. "Ah
syukurlah," gumamku. Begitulah yang terjadi. Rahasia
ini masih kusimpan demi
ketenangan keluargaku. Tapi
satu hal yang tak dapat
kupungkiri, bahwa darah
dagingku pun terpisah di sana. Disatu sisi aku bangga dapat
membahagiakan sahabatku dan
membalas budinya. Tapi disisi
lain soal akibat dosanya,
kuserahkan kepada Yang Di
Atas. Aku hanya dapat berucap, mohon ampun pada-
Nya.


Tamat

[ back ][ home ]


101% Free Downloads

Web Site Hit Counter