Ia adalah suami dari ipar
(adik suami) saya. Saya sangat
dekat dengan Dian, istri Budi. Saya juga mempunyai
hubungan
baik dengan Budi. Ia berumur
kira-kira 36 tahun, berwajah
tampan dengan kulit putih dan
kuakui lebih tampan dari suami saya. Perawakannya tidak
tinggi, hanya sekitar 164 cm,
hampir sama dengan tinggi
saya.
Dia bekerja di instansi yang
sama dengan suami saya (mungkin hasil kkn ya ?)
Melihat Budi di luar saya jadi
agak terburu-buru. Biasanya
saya menemui orang yang
bukan suami dan anak (atau
wanita) selalu dengan mengenakan pakaian wanita
rapi
dan tertutup rapat. Karena
terburu-buru dan tanpa saya
sadari, saya hanya
mengenakan baju tidur berkain halus warna
putih sebatas lutut berlengan
pendek dengan kancing-
kancing
di depan. Untung saya masih
sempat mengenakan secarik kain selendang warna hitam
untuk menutup kepala, bukan
jilbab, tetapi seperti selendang
tradisional yang
diselempangkan
di kepala hanya untuk menutup
rambut. Leher saya terbuka
dan
telinga saya terlihat jelas. Apa
boleh buat saya tidak dapat
membiarkan Budi menunggu saya didepan rumah terlalu
lama.
Saya membuka pintu. Budi
tersenyum melihat saya
walaupun saya tahu dia agak
heran melihat saya tidak berpakaian seperti biasanya.
“Apa kabar kak Win”,
sapanya,
“Saya membawakan titipan
pakaian dari Dian, untuk Sandy
“. “Eh, ayo masuk Bud, baru dari
kantor ya ?”, dan saya
persilakan dia masuk.
Saya lalu mengambil barang
yang dibawa Budi dan
meletakkannya di meja makan. Meja makan terletak di ruang
tengah tidak jauh dari meja
komputer. Ruang tengah
berhubungan langsung tanpa
pembatas dengan ruang tamu
di bagian depan dan dapur di
bagian kiri. Dapur dapat
terlihat
jelas dari ruang tamu. Sambil
duduk di sofa ruang
tamu, Budi mengatakan “Saya tadi ketemu kak Kamal di
kantor katanya baru pulang
jam
enam nanti”. Kamal adalah
suami saya. “Mana anak-anak,
Win ?”, kata Budi lagi. “Tony sedang main ke rumah
teman dari siang tadi dan
katanya mungkin baru pulang
agak malam” kata saya. Tiba-
tiba saya menyadari bahwa
kami hanya berdua saja. Terus terang, Budi dan Dian adalah
kerabat yang paling saya sukai
karena perangai mereka
berdua
yang sopan dan terbuka. Saya
duduk di sofa di seberang agak ke samping dari kursi
sofa
yang diduduki Budi. Pada saat
saya mulai duduk saya baru
menyadari agak sulit untuk
duduk dengan rapi dan tertutup dengan pakaian yang
saya
kenakan. Posisi alas duduk sofa
cukup rendah sehingga pada
saat duduk lutut terasa tinggi
dibandingkan dengan pantat. Jadi bagian bawah paha saya
agak terangkat sedikit dan
agak sulit tertutup sempurna
dengan pakaian seperti yang
saya kenakan dan pada saat
duduk ujung pakaian tertarik sedikit ke atas lutut. Budi
tampak agak terkesiap melihat
saya. Sekilas ia melirik ke lutut
dan paha saya yang memang
putih dan tidak pernah kena
sinar matahari (saya selalu berpakaian muslim ke luar
rumah). Saya agak malu dan
canggung (saya kira Budi juga
tampak agak canggung). Tetapi
kami sudah bukan remaja lagi
dan dapat menguasai diri. “Apa kabar Dian, Bud”, tanya
saya.
“Dian beberapa hari ini kurang
sehat, kira-kira sudah
semingguan lah”, kata Budi.
“Bagaimana Tony, Win ?, apa enggak ada pelajaran yang
tertinggal ?”, Budi balik
bertanya.
“Yah, si Tony sudah mulai oke
koq dengan pelajarannya.
Mudah-mudahan saja sih prestasinya terus-terusan
bagus”, saya jawab.
Tiba-tiba Budi bilang ” Wah,
kayak-kayaknya Tony semakin
getol main komputernya yah
Win, kan sudah hampir SMA”. Deg perasaan saya, semua
pengalaman internet jadi
terbayang kembali. Terutama
terbayang pada Tony saat ia
beronani di depan
komputernya. “Eh, kenapa kak Win, koq
kaya
seperti orang bingung sih ?”,
Budi melihat perubahan sikap
saya.
“Ah, tidak apa-apa kok. Tapi si
Tony memang sering sekali
main
komputer.” kata saya. Saya
mendadak merasakan
keberduaan yang mendalam di ruangan itu. Saya merasa
semakin canggung dan ada
perasaan berdebar. Untuk
menghindar dari perasaan itu
saya menawarkan minum pada
Budi, “Wah lupa, kamu mau minum apa Bud ?”.
“Kalau tidak merepotkan, saya
minta kopi saja deh”, kata
Budi.
Saya tahu, Budi memang paling
suka minum kopi. Saya bangkit berdiri dari sofa.
Tanpa saya sengaja, paha dan
kaki saya sedikit terbuka pada
saat saya bangun berdiri.
Walaupun sekilas, saya melihat
pandangan mata Budi melirik lagi ke paha saya, dan tampak
agak
gugup. Apakah dia sempat
melihat bagian dalam paha
saya,
pikir saya di dalam hati. “Tunggu sebentar ya..”, kata
saya ke Budi. Sebelum
membuat kopi untuk Budi, saya
ke kamar
tidur dulu untuk menengok
Sandy. Sambil menuju ke kamar saya melirik sebentar ke arah
Budi. Budi tampak tertunduk
tetapi tampak ia mencuri
pandang ke arah saya.
Saya tersadar bahwa
penampilan pakaian saya yang tidak biasanya telah menarik
perhatiannya. Terutama sekali
mungkin karena posisi duduk
saya tadi yang sedikit
menyingkap bagian bawah
pakaian saya. Saya yang terbiasa berpakaian muslim
tertutup rapat, ternyata
dengan pakaian seperti ini,
yang sebenarnya masih
terbilang
sopan, telah mengganggu dan menggugah (sepertinya)
perhatian Budi. Menyadari ini
saya merasa berdebar-debar
kembali, dan tubuh saya
terasa seperti dialiri perasaan
hangat. Anak saya Sandy masih
tertidur
nyenyak dengan damainya.
Tanpa sengaja saya melihat
cermin lemari pakaian dan
menyaksikan penampilan saya di kaca yang membuat saya
terkesiap. Ternyata pakaian
yang saya kenakan tidak
dapat
menyembunyikan pola pakaian
dalam (bra dan celana dalam) yang saya kenakan. Celana
dalam yang saya pakai terbuat
dari bahan (agak tipis)
berwarna putih sedangkan
kutangnya berwarna hitam.
Karena pakaian yang saya kenakan berwarna putih dan
terbuat dari bahan yang agak
halus maka celana dalam dan
bh
tadi tampak terbayang dari
luar. Ya ampun ., saya tidak menyadari, dan tentunya Budi
dapat melihat dengan leluasa.
Saya menjadi merasa agak
jengah. Tetapi entah mengapa
ada perasaan lain yang muncul,
saya merasa sexy dan ada perasaan puas bahwa Budi
memperhatikan penampilan
saya yang sudah cukup umur
ini.
Tubuh saya tampak masih
ramping dengan kulit yang putih.
Kecuali bagian perut saya
tampak ada sedikit berlemak.
Budi yang saya anggap sopan
dan ramah itu ternyata
memperhatikan tubuh dan penampilan saya yang
sebetulnya sudah tidak muda
lagi. Saya merasa nakal dan
tiba-tiba perasaan birahi itu
muncul sedikit demi sedikit.
Bayang-bayang persetubuhan dan sex di internet melingkupi
saya. Oh., bagaimana ini..
Aduh .,
birahi ini, apa yang harus
dilakukan. Saya jadi tidak bisa
berpikir lurus. Saya berusaha
menenangkan diri tetapi tidak
berhasil. Akhirnya saya
putuskan, saya akan
melakukan
sedikit permainan, dan kita lihat saja apa nanti yang akan
terjadi. Saya merasa jatuh ke
dalam takdir. Dengan dada
berdebar, perasaan malu,
perasaan nakal, dan tangan
agak gemetar, saya membuka kancing baju saya yang paling
bawah. Bagian bawah dari baju
saya sekarang tersibak hingga
15 cm di atas lutut. Mungkin
bukan seberapa, tetapi bagi
saya sudah lebih dari cukup untuk merasakan kenakalan
birahi. Satu lagi kancing baju
yang paling atas saya buka
sehingga bagian atas yang
mulai
menggunduk dari susu saya mulai terlihat. Payudara saya
tidak besar, berukuran
sedang-
sedang saja. Sambil berdebar-
debar saya keluar kamar
menuju dapur. “Wah maaf ya Bud, agak lama,
sekarang saya buat dulu
kopinya.” kata saya. Saya
dapat merasakan Budi
memandang saya dengan
perhatian yang lebih walaupun tetap sangat sopan. Ia
tersenyum, tetapi lagi-lagi
pandangannya menyambar
bagian bawah tubuh saya.
Saya
tahu bahwa untuk setiap langkah saya, pakaian bawah
saya tersibak, sehingga ia
dapat
melihat bagian paha saya yang
mulai sangat memutih, kira-
kira 20 cm di atas lutut. Saya
merasa sangat sexy dan nakal,
dibarengi dengan birahi. Saat
itu
saya tidak ingat lagi akan
suami dan anak. Pikiran saya sudah
mulai diselimuti oleh nafsu
berahi.
Saya berpikir untuk menggoda
Budi. Saya membuka lemari
dapur dan membungkuk untuk mengambil tempat kopi dan
gula. Saya sengaja
membungkukkan
pinggang ke depan dengan
menjaga kaki tetap lurus. Baju
saya bagian belakang tertarik ke atas sekitar 20 cm di atas
lipatan lutut dan celana dalam
tercetak pada baju karena
ketatnya. Saya dapat
merasakan Budi memandangi
tubuh saya terutama pantat dan paha saya. Kepuasan
melanda saya yang dapat
menarik perhatian Budi. Saya
merasa Budi selalu melirik-lirik
saya ke dapur selama saya
menyiapkan kopi. Secangkir kopi yang masih
panas saya bawa ke ruang
tamu. Tepat di depan sofa ada
meja pendek untuk meletakkan
penganan kecil atau pun
minuman. Saya berjongkok persis di seberang Budi untuk
meletakkan kopi. Saya
berjongkok dengan satu lutut
di
lantai sehingga posisi kaki agak
terbuka. Samar-samar saya mendengar Budi mendesis.
Sambil
meletakkan kopi saya lirik dia,
dan ternyata ia mencuri
pandang ke arah paha-paha
saya. Saya yakin ia dapat melihat nyaris ke pangkal paha
saya yang tertutup celana
dalam putih. Sambil berjongkok
seperti itu saya ajak dia
ngobrol.
“Ayo di minum kopinya Bud, nanti keburu dingin”, kata
saya.
“Oh, ya, ya, terima kasih”,
kata Budi sambil mengambil
kopi
yang memang masih panas, sambil kembali pandangannya
menyambar ke arah bagian
dalam paha saya.
“Apa tidak berbahaya terlalu
banyak minum kopi, nanti
ginjalnya kena”, tanya saya untuk mengisi pembicaraan.
“Memang sih, tetapi saya
sudah
kebiasaan”, kata Budi. Sekitar
tiga menitan saya ngobrol
dengan Budi membicarakan masalah kopi, sambil tetap
menjaga posisi saya. Saya lihat
Budi mulai gelisah dan mukanya
agak pucat. Apakah ia
terangsang, tanya saya dalam
hati. Saya kemudian bangkit dan
duduk di sofa di tempat
semula
saya duduk. Saya duduk
dengan
menyilangkan kaki dan menumpangkan paha yang
satu
ke atas paha yang lain. Saya
melihat lagi Budi sekilas melirik
ke bagian tubuh saya .
“Hemmhhh ..”, saya mendengar
Budi menghela napas. Bagian
bawah baju saya tertarik jauh
ke atas hingga setengah paha,
dan saya yakin Budi dapat
melihat paha saya yang terangkat (di atas paha yang
lain) hingga dekat ke pantat
saya.
Kami terdiam beberapa saat.
Secara perlahan saya
merasakan memek saya mulai berdenyut. Suasana ini
membuat
saya mulai terangsang.
Pandangan saya tanpa terasa
menyaksikan sesuatu yang
mengguncang dada. Saya melihat mulai ada tonjolan di
celana Budi
di bagian dekat pangkal paha.
Dada saya berdebar-debar
dan
darah terasa mendesir. Saya tidak sanggup mengalihkan
pandangan saya dari paha
Budi. Astaga, tonjolan itu
semakin
nyata dan membesar hingga
tercetaklah bentuk seperti batang pipa. Oh., ukuran
tonjolan itu membuat saya
mengejang. Saya merasa malu
tetapi juga dicengkeram
perasaan birahi. Muka saya
terasa memerah. Saya yakin Budi pasti menyaksikan saya
memandangi tonjolan
kontolnya.
Untuk memecahkan suasana
diam saya berusaha mencari
omongan. Sebelumnya saya agak
menyandar pada sofa dan
menurunkan kaki saya dari
kaki
yang lain. Sekarang saya
duduk biasa dengan paha sejajar
agak terbuka. Bagian bawah
baju
saya tertarik ke atas.
“Ehhheeehh”, terdengar
desah Budi. Kini ia dapat melirik dan
menyaksikan dengan leluasa
kedua belah paha saya hingga
bagian atas. Sebagai seorang
ibu yang sudah beranak, paha
saya cukup berisi dengan sedikit
lemak dan berwarna putih.
Budi
seolah tidak dapat mengalihkan
pandangannya dari paha saya.
Ohhhh .., saya lihat tonjolan di celananya tampak berdenyut.
Saya merasakan nafsu yang
menggejolak dan pumya
keinginan untuk meremas
tonjolan itu. “Eh .. Bud, kenapa
kamu? Kamu kok kayaknya pucat lho”,
astaga suara saya terdengar
gemetar.
“Ah.., kak Win .., enggak …
apa-
apa kok”, suara Budi terputus- putus, wajahnya
agak tersipu,
merah dan tampak pucat.
“Itu kok ada tonjolan,
memangnya kamu kenapa?”,
kata saya sambil menggangukkan kepala ke
tonjolan di celananya. Ahh,
saya
malu sekali waktu
mengucapkan
itu, tapi nafsu saya mengalahkan semua pikiran
normal.
“Ehh.., euuuh., oh yahh ., ini
lho, penampilan kak WIN beda
sekali
dengan biasanya” kata Budi jujur sambil terbata-bata.
Saya
paksakan diri untuk
mengatakan.
“Apa Budi tertarik .
terangsang .. melihat kak Win?”.
“Ahh, saya nggak bisa bohong,
penampilan kak Win .. eh .
tidak
biasanya. Kak Win mesti sudah
bisa lihat kalau saya terangsang. Kita kan sudah
bukan anak kecil lagi” kata
Budi.
Tiba-tiba saja Budi berdiri dan
duduk di sebelah saya.
“Kak Win, . eh saya mohon mohon maaf, tapi saya tidak
sanggup menahan perasaan.
Kak
Win jangan marah … ” begitu
saja meluncur kata-kata itu
dari Budi. Ia mengucapkan dengan sangat perasaan dan
sopan. Saya terlongong-
longong saja mendengar kata
-
katanya..
“Ahh .. Bud .”, hanya itu kata yang terucap dari mulut saya.
Dengan beraninya Budi mulai
memegang tangan kanan saya
dan mengusap-usapnya dengan
lembut. Diangkatnya tangan
saya dan diciumi dengan lembut.
Dan yang menggairahkan saya,
jari-jari tangan saya dijilat dan
dihisapnya. Saya terbuai dan
terangsang oleh perbuatannya.
Tiba-tiba saja diletakkannya tangan saya tepat di atas
kontolnya yang menonjol.
Tangan saya terasa mengejang
menyentuh benda yang keras
dan liat tersebut. Terasa
kontol Budi bergerak-gerak
menggeliat
akibat sentuhan dan remasan
tangan saya.
“Eehhmm.” Budi mendesah.
Tanpa terasa saya mulai meremas-remas tonjolan itu,
dan kontol batang Budi terasa
semakin bergerak-gerak.
“Oooh kak Win, eeehhhmmm …
ohhgg, nikmaat sekali .”, Budi
mengerang. “Eeehhh . jangan terlalu keras
kak meremasnya, ahh ..
diusap-
usap saja, saya takut tidak
kuat nahannya”, bisik Budi
dengan suara gemetar. Budi mulai membelai kepala
saya dengan kedua tangannya.
“Kak
Win lehernya putih sekali”,
katanya lagi. Saya merasa
senang mendengar ucapannya. Dibelainya rambut saya dengan
lembut sambil menatap muka
saya. Saya bergetar
memandang
tatapannya dan tidak mampu
melawan pandangannya. Budi mulai menciumi pipi saya.
Dikecupnya kedua mata saya
mesra. Digesek-gesekkannya
hidungnya ke hidung saya ke
bibir saya berlama-lama
bergantian. Saat itu tidak hanya
birahi yang melanda saya ..
tetapi juga perasaan sayang
yang muncul. Ditempelkannya
bibirnya ke bibir
saya dan digesek-gesekkan. Rasa geli dan panas terasa
menjalar merambat dari bibir
saya ke seluruh tubuh dan
bermuara ke daerah
selangkangan. Saya benar-
benar terbuai. Saya tidak lagi
mengusap-usap kontolnya dari
balik celana, tetapi kedua
lengan saya sudah melingkari
lehernya tanpa sadar. Mata
saya terpejam erat-erat menikmati cumbuannya. Tiba-
tiba
terasa lidahnya menerobos
masuk mulut saya dan
dijulurkannya menyentuh ujung
lidah saya. Dijilatinya lidah saya dengan lidahnya. “Eenggghh ..”
Tanpa sadar saya menjulurkan
lidah saya juga. Kini kami saling
menjilat dan napas saya
tersengal-sengal menikmati
kelezatan rangsangan pada mulut saya. Air ludah saya
yang
mengalir dijilati oleh Budi.
Seperti
orang kehausan, ia menjilati
lidah dan daerah bibir saya. “Aaauungghh .. ooohhhh…”,
saya mulai mengerang-erang.
Napas Budi juga terdengar
memburu, “Heeeghh…
hhnghh”,
ia mulai mendesah-desah. Muka kami sekarang berlepotan
ludah, bau ludah tercium tetapi
sangat
saya nikmati. Dikenyot-
kenyotnya lidah saya kini
sambil menjelajahkan lidahnya di
rongga mulut saya. Saya
membuka mulut saya selebar-
lebarnya untuk memudahkan
Budi. Sekali-kali ia menghirup
cairan ludah saya. Saya tidak menyangka, laki-laki yang
sehari-hari tampak sopan ini
sangat menggila di dalam sex.
Dijilat-jilatnya juga leher saya.
Sekali-kali leher saya digigit-
gigit. Ohhh .., alangkah nikmatnya, saya sangat
menikmati yang ia lakukan
pada
saya. Tiba-tiba Budi
menghentikan
aktivitasnya, “Kak Win, pakaiannya saya buka yaahh”.
Tanpa menunggu jawaban
saya,
ia mulai membuka kancing-
kancing baju dari atas hingga
ke bawah. Dilepaskannya baju saya. Sekarang saya tergolek
bersandar di sofa hanya
dengan
BH dan celana dalam saja
beralaskan baju yang sudah
terlepas. “Indah sekali badan kak Win.
Putih sekali”, katanya. Diusap-
usapnya perut saya.
“Ahh, kak Win sudah tua dan
tidak langsing lagi kok Bud”,
kata saya agak sedikit malu, karena perut saya sudah agak
gemuk dan mulai membusung
dengan adanya lemak-lemak.
Tetapi Budi tampak tidak
perduli. Diciumnya lembut perut
saya dan dijilatnya sedikit pusar saya. Rasa geli dan
nikmat
menjalar dari pusar dan
kembali
bermuara di daerah kemaluan
saya. Budi mengalihkan perhatiannya
ke susu saya. Diusap-usapnya
susu saya dari balik BH.
Perasaan geli tetapi nyaman
terasa pada susu saya. Tanpa
diminta saya buka BH saya. Kini kedua susu saya terpampang
tanpa penutup. Bayu
memandangi kedua gundukan
di
dada saya dengan muka serius.
Susu saya tidaklah besar dan kini sudah agak menggantung
dengan pentil berwarna coklat
muda. Kemudian ia mulai
membelai-belai kedua susu
saya.
Merinding nikmat terasa susu saya. Semakin lama belaiannya
berubah menjadi pijitan-pijitan
penuh nafsu. Kenikmatan
terasa
menerjang kedua susu saya.
Saya mengerang-erang menahan rasa nikmat ini. Kini
dijilatinya pentil susu yang
sebelah kanan. Tidak puas
dengan itu dikenyotnya pentil
tadi dalam-dalam sambil
meremas-remas susu. Saya tidak dapat menahan nikmat
dan tanpa terasa tubuh saya
menggeliat-geliat liar. Cairan
terasa merembes keluar
memek
saya dan membasahi celana dalam yang saya kenakan. Kini
Budi berpindah ke susu dan
pentil saya yang sebelah kiri
dan melakukan hal yang sama.
Dikenyutnya pentil saya sambil
digigit-gigit, dan diremas- remasnya pula kedua susu
saya.
Perasaan nikmat membakar
susu
saya dan semakin lama rasa
nikmat itu menjalar ke lubang memek saya. Memek saya
terasa basah kuyup oleh
cairan yang keluar. Saya
mengerang-
erang dan mengaduh-aduh
menahan nikmat, “Oooohh Buuuud..”.
Tangan Budi sekarang menjalar
ke bagian celana dalam saya.
“Ahhh, kak Win celananya
sudah
basah sekali”, kata Budi. “Enghh, iya Buud.., kak Win
sudah sangat terangsang,
ooohhh, nikmat sekali”, kata
saya. Tepat di bagian depan
memek saya, jari-jarinya
membelai-belai bibir memek melalui celana dalam. Rasa geli
bercampur nimat yang luar
biasa menerjang memek saya.
Saya tidak dapat menahan
rasa nikmat ini, dan
mengerang - erang.
Kemudian Budi menarik dan
melepas celana saya. Kini saya
tergeletak menyandar di sofa
tanpa busana sama sekali.
“Ohh, indah sekali”, kata Budi. Diusap-usapnya rambut jembut
saya yang hitam lebat.
“Lebat sekali kak, sangat
merangsang”, kata Budi.
Dibukanya kedua belah paha
saya, dan didorong hingga lutut
saya menempel di perut dan
dada. Bibir-bibir memek saya
kini
terbuka lebar dan dapat saya
rasakan lubang memek saya terbuka. Saya merasa ada
cairan merembes keluar dari
dalam lubang memek. Saya
sudah sangat terangsang.
Tiba-
tiba saja Budi berlutut di lantai dan ohhhhh, diciumnya memek
saya. “Ahh, jangan Bud,
malu…, di situ
kan bau”, kata saya kagok.
“Bau nikmat kak”, kata Budi
tidak perduli. Dijilatinya memek saya. Perasaan nikmat
menyerbu daerah
selangkangan saya. Saya tidak
dapat berkata
apa-apa lagi dan hanya
menikmati yang dia lakukan. Dijilatinya kelentit saya, dan
sekali-sekali dijulurkannya
lidahnya masuk ke lubang
memek yang sudah sangat
basah itu. Ujung lidah Budi
keluar masuk lubang kenikmatan
saya, kemudian berpindah ke
kelentit, terus berganti-ganti.
Tangan Budi meremas-remas
susu saya dengan bernafsu.
Slerp, slerp .., bunyi lidah dan mulutnya di memek saya.
Kenikmatan semakin memuncak
di memek saya, dan terasa
menembus masuk hingga ke
perut dan otak saya. Saya
tidak mampu lagi menahannya. Kedua kaki saya mengejang-
ngejang, saya menjepit kepala
Budi dengan tangan dan saya
tarik sekuat-kuatnya ke
memek saya. Saya gosok-
gosokkan mukanya ke memek saya.
“Oooh, Buuud, kak Win keluar,
ooooohhh …, nikmat sekali,
oohhhh” saya menjerit dan
mengerang tanpa saya tahan
lagi. Rasa nikmat yang tajam seolah
menusuk-nusuk memek dan
menjalar ke seluruh tubuh.
Terpaan nikmat itu melanda,
dan tubuh saya terasa
mengejang beberapa saat. Sesudah kenikmatan itu lewat,
tubuh saya terasa lemah
tetapi
lega dan ringan. Kaki saya
terjuntai lemah. Budi sudah
berdiri. Ia kini melepas seluruh bajunya. Celana panjang
dipelorotkannya ke bawah dan
dilepas bersama dengan celana
dalamnya.
Oohhhhh, tampak pemandangan
yang luar biasa. Budi ternyata memiliki kontol yang besar,
tidak
sesuai dengan badannya yang
sedang-sedang ukurannya.
Kontol itu berwarna coklat
kemerahan. Suami saya bertubuh lebih besar dari Budi,
tetapi kontol Budi ternyata
luar
biasa. Astaga, ia mengocok-
kocok kontol itu yang berdiri
kaku dan terlihat mengkedut - kedut. Kepala kontolnya
tampak
basah karena cairan dari
lubang kencingnya. Tanpa saya
sadari,
tangan saya menjulur maju dan
membelai kontol itu. Ogghhh
besarnya, dan alangkah
kerasnya. Saya remas
kepalanya, oohhhh .. Keras
sekali, saya peras-peras kepalanya. Budi mengejang-
ngejang dan keluar cairan
bening menetes-netes dari
lubang di kepala kontolnya.
“Ahhhhh, jangan kak Win, saya
nggak tahan, nanti saya muncrat keluar”, bisiknya
sambil
mengerang.
“Saya mau keluarkan di dalam
memek kak Win saja, boleh
yahhh Kak ?”, kata Budi lagi. “Ahh, iya, Buud .., cepetan
masukin ke memek kak Win,
ayoohh”, kata saya. Kontol
yang keras itu saya tarik dan
tempelkan persis di depan
lubang memek saya yang basah kuyup oleh cairan
memek dan
ludah Budi. Tidak sabar saya
rangkul pantat Budi, saya jepit
pula dengan kedua kaki saya,
dan saya paksa tekan pinggulnya. Ahhhhh, lubang
memek saya terasa terdesak
oleh benda yang sangat besar,
ohhhh dinding-dinding memek
saya terasa meregang.
Kenikmatan mendera memek saya kembali. Kontol itu terus
masuk menembus sedalam-
dalamnya. Dasar lubang memek
saya sudah tercapai, tetapi
kontol itu masih lebih panjang
lagi. Belum pernah saya merasakan sensasi kenikmatan
seperti ini. Saya hanya
tergolek
menikmati kebesaran kontol
itu.
Budi mulai meremas-remas susu
saya dengan kedua tangannya.
Tiba-tiba kontol itu mengenjot
memek saya keluar masuk
dengan cepatnya. Saya tidak
mampu menahannya lagi, orgasme kembali melanda,
sementara kontol itu tetap
keluar masuk dipompa dengan
cepat dan bertenaga oleh Budi.
“Aduuuhh, Buud, nikmat
sekali.., aku nggak kuat lagi ..”. Saya
merengek-rengek karena
nikmatnya.
“Hheehhhheh, sebentar lagi
saya keluaaaar kaak ..”, kata
Budi. Kocokannya semakin menjadi-jadi. Tiba-tiba terasa
tubuhnya menegang.
“Ahhhuuuggh, saya keluar
kaaaak .”, erang Budi
tertahan-tahan. Kontol Budi
terbernam sedalam-dalamnya. Crut .. cruutt . crutt, saya
merasakan ada cairan hangat
menyemprot jauh di dalam
memek saya seolah tanpa
henti.
Budi memeluk saya erat-erat sambil menyemprotkan cairan
maninya didalam memekku.
Mukanya tampak menegang
menahan kenikmatan. Ada
sekitar satu menit ia
meregang nikmat sambil memeluk saya.
Sesudah itu Budi menghela
napas panjang. “Saya tidak
tahu apakah saya menyesal
atau tidak, … tapi yang tadi
sangat nikmat. Terima kasih kak
Win”. Diciuminya muka saya.
Saya tidak dapat berkata
apa-
apa. Air mata saya menetes
keluar. Saya sangat menyesali yang telah terjadi, tetapi saya
juga menikmatinya sangat
mendalam. Saat itu saya juga
merasakan penyesalan Budi.
Saya tahu ia sangat
menyayangi Dian istrinya. Tetapi nasi sudah
menjadi bubur.
Sejak kejadian itu, kami hanya
pernah mengulangi berzina
satu kali. Itu kami lakukan
kira-kira di minggu ketiga bulan puasa,
pada malam hari. Yang kedua
itu
kami melakukannya juga
dengan
menggebu-gebu. Sejak itu kami tidak pernah melakukannya
lagi hingga kini. Kami masih
sering
bertemu, dan berpandangan
penuh arti. Tetapi kami tidak
pernah sungguh-sungguh untuk
mencari kesempatan
melakukannya. Budi sangat
sibuk dan saya harus
mengurusi Ilham
yang masih kecil. Saya masih terus didera nafsu
sex setiap hari. Saya masih
terus bermain dengan internet
dan menjelajahi dunia sex
internet. Saya terus berusaha
menekan birahi, tetapi saya merasa tidak mampu. Mungkin
suatu saat saya nanti saya
akan melakukannya lagi
dengan
Budi, dengan segala dosa yang
menyertai.