watch sexy videos at nza-vids!
ramalan bintang terupdate !

Budak Nafsu ABG

Aku sedang membanting
pantatku di jok belakang taxi,
ketika dering HP-ku memanggil.
Kuperhatikan jelas sekali bahwa
ini nomor yang sama dari dua
kali panggilan tadi. Tapi karena aku merasa tidak mengenalnya,
aku sama sekali tidak
menanggapinya.
“Kenapa tidak diangkat,
Bang..?” tanya sopir taxi yang
sekilas melihatku lewat spionnya. “Buat apa. Paling-paling
wartawan ‘bodrek’.
Menawarkan berita
kemenanganku ini di koran kelas
‘teri’-nya. Bosen aku
berurusan dengan mereka..!” sahutku sambil kuperhatikan
sekali lagi secara kilas dua
medali emas dan piala juara
favorit kejuaraan binaraga kelas
junior ini.
Taxi meluncur kencang membawaku pulang ke rumah
kontrakanku di daerah Radio
Dalam. Taxi masih melenggang di
atas aspalan Sudirman ketika
nomor HP itu muncul lagi di
layar HP-ku. Berdering dan berdering minta diangkat.
Terpaksa kali ini aku
menerimanya dengan malas.
“Hai Andre, sombong bener sih,
nggak mau terima telponku.
Kenapa..?” “Sori Mbak. Ini siapa, dan ada
apa..? Aku merasa nggak kenal
anda.”
“Benar. Kita belum pernah
saling kenal kok. Tapi aku selalu
memantau kemajuanmu dalam bertanding binaraga. Pokoknya
aku selalu mengikutimu kemana
kamu berlaga memamerkan
tubuhmu yang berotot kekar
tapi indah dan seksi sekali itu.
Aku senang sekali. Banyak teman-temanku yang
mengidolakan dirimu lho Mas.
Kupikir masa depanmu pasti
cerah sekali di dunia binaraga.
Gimana nih, kami mau kenalan
lebih dekat lagi, juga foto-foto bersama atlet idola kami.
Bagaimana Mas..?”
Aku sejenak berpikir. Siapa sih
mereka? Apa maksudnya? Kalau
aku tolak, aku merasa
merendahkan atau menyepelekan apa yang
namanya fans atau penggemar.
Fans atau penggemar, apalagi
wartawan itu adalah jalur yang
tidak boleh kulawan. Mereka
harus kurangkul dan akrabi. Begitu nasehat teman-teman
seniorku di dunia olahraga yang
banyak penggemarnya.
“Baiklah. Dimana ini kalian
semua..?” tanyaku setelah
menghelakan nafasku. Sebuah daerah pemukiman elite
disebutkan suara cewek itu.
Permata Hijau. Aku segera minta
sama sopir taxi segera meluncur
ke alamat yang dituju.
Kuperhatikan jam tanganku sudah menunjukkan pukul 23.45
tepat. Waktuku untuk istirahat.
Tapi demi fans, aku rela
membagi waktuku dengan
mereka.
Rumah mewah itu memang terlihat sepi, gelap, dengan
halamanya yang terlihat teduh.
Berlantai tiga dengan gaya
arsitektur spanyol yang unik.
Bergegas aku segera turun dan
kuperhatikan sejenak taxi telah menghilang di tikungan jalan.
Kembali aku perhatikan alamat
rumah yang kutuju itu. Aku
segera menyelinap masuk ke
dalam halamannya setelah
membuka sedikit pintu gerbangnya yang dari besi dicat
hitam. Hujan mendadak turun
dengan rintik-rintik. Berburu
aku lari kecil menuju teras yang
tinggi, karena aku mesti menaiki
anak tangganya. Aku dengan tidak sabaran
menekan-nekan bel pintunya
yang yang tampak sekali aneh
bagiku, sebab tombol bel itu
berupa puting susu dari patung
dada wanita. Tidak berapa lama, pintu model tarung kuku itu
terbuka. Aku seketika berdecak
kagum dan ‘ngiler’ berat
melihat figur penggemarku
ternyata anak baru tumbuh
yang bertubuh seksi. “Mas Andre, ya? Ayo Mas, dua
temanku sudah tak sabar
nungguin Mas. Biar kubawakan
pialanya.. yuk..!” ujar gadis
berusia sekitar 17 tahun itu
ramah sekali menyambar piala dan tas olahragaku.
Aku menyibakkan sebentar
rambut gondrongku yang basah
sedikit ini, sambil sejenak
kuperhatikan gadis itu menutup
dan mengunci kembali pintunya. “Ng.., maaf, belum kenalan..,”
gumamku perlahan membuat
gadis berambut pendek cepak
ala tentara cowok itu
menghentikan langkahnya lalu
memutar tubuhnya ke arahku sambil mengumbar senyun
manisnya.
“Oh ya, aku Tami..,” sahutnya
menjabat tanganku erat-erat.
Hm, halus dan empuk sekali
jemari ini, seperti tangan bayi. Tami yang berkulit kuning
langsat itu melirik ke sebelah, di
mana dari balik korden muncul
dua temannya. Semua seusia
dirinya.
“Ayo pada kenalan..!” sambung Tami.
Malam ini Tami memakai kaos
singlet hitam ketat dan celana
pendek kembang-kembang
ketat pula, sehingga aku dapat
dengan jelas melihat sepasang pahanya yang mulus halus.
Bahkan aku dapat melihat,
bahwa Tami tidak memakai BH.
Jelas sekali itu terlihat pada
dua bulatan kecil yang menonjol
di kedua ujung dadanya yang kira-kira berukuran 32.
“Lina..,” ujar gadis kecil lencir
berambut panjang
sepinggangnya itu menjabat
tanganku dengan lembut sekali.
Gadis ini berkulit kuning bersih dengan dadanya yang kecil tipis.
Dia memakai kaos singlet putih
ketat dan celana jeans yang
dipotong pendek berumbai-
rumbai. Lagi-lagi Lina, gadis
cantik beralis tebal itu sama seperti Tami. Tidak memakai BH.
Begitupun Dian, gadis ketiga
yang bertubuh kekar seperti
laki-laki itu dan berambut
pendek sebatas bahunya yang
kokoh. Kulitnya kuning langsat dengan kaos ketat kuning dan
celana pendek hitam ketat pula.
Hanya saja, dada Dian tampak
paling besar dan kencang sekali.
Lebih besar daripada Tami.
Cetakan kedua putingnya tampak menonjol ketat.
Aku dapat melihat pandangan
mata mereka sangat tajam ke
arah tubuhku. Aku pikir iru
maklum, sebab idola mereka kini
sudah hadir di depan mata mereka.
“Dimana mau foto-foto
bersamanya..?” tanyaku yang
digelandang masuk ke ruang
tengah.
“Sabar dulu dong Mas, kita kan perlu ngobrol-ngobrol. Kenalan
lebih dalam, duduk bareng.. gitu.
Santai saja dulu lah.. ya..?”
sahut Dian menggaet lengan
kananku dan mengusap-usap
dadaku setelah ritsluting jaket trainingku diturunkan sebatas
perutku.
“Ouh, kekar sekali. Berotot, dan
penuh daging yang hebat. Hm..,”
sambungnya sedikit bergumam
sembari menggerayangi putingku dan seluruh dadaku.
Aku jadi geli dan hendak
menampik perlakuannya. Tapi
kubatalkan dan membiarkan
tangan-tangan ketiga gadis ABG
itu menggerayangi dadaku setelah mereka berhasil melepas
jaketku.
Kuakui, aku sendiri juga
menikmati perlakakuan istimewa
mereka ini. Kini aku dibawa ke
sebuah kamar yang luas dengan dinding yang penuh foto-foto
hasil klipingan mereka tentang
aku. Aku kagum. Sejenak
mereka membiarkanku terkagum
dan menikmati karya mereka di
tembok itu. “Bagaimana..?” tanya Lina
mendekati dan merangkul lengan
kiriku.
Lagi-lagi jemari tangan kirinya
menggerayangi puting dan
dadaku. Kudengar nafas Lina sudah megap-megap. Lalu Dian
menyusul dan memelukku dari
belakang, menggerayangi
dadaku dan menciumi
punggungku. Kini aku benar-
benar geli dibuatnya. “Sudahlah, lebih baik jangan
seperti ini caranya. Katanya
mau foto-foto..?” kataku
mencoba melepaskan diri dari
serbuan bibir dan jemari
mereka. “Iya, betul sekali. Lihat kemari
Mas Andre..!” sahut Tami yang
berdiri di belakangku.
Aku segera membalikkan
tubuhku dan seketika aku
terkejut. Mataku melotot tidak percaya dengan penuh
ketidaktahuan dan ngerti semua
ini.
“Ada apa ini, apa-apa ini ini..?
Kalian mau merampokku..?”
tanyaku protes melihat Tami sudah menodongkan pistol
otomatis yang dilengkapi dengan
peredam suara itu ke arah
kepalaku.
“Ya. Merampok dirimu. Jiwa dan
ragamu. Semuanya. Ini pistol beneran. Dan kami tidak main-
main..!” sahut Tami dengan
wajah yang kini jadi beringas
dan ganas.
Begitupun Lina dan Dian. Sebuah
letupan menyalak lembut dan menghancurkan vas bunga di
pojok sana. Aku terhenyak
kaget. Mereka berdua
memegangi lengananku dengan
kuat sekali. Aku hampir tidak
percaya dengan tenaga mereka. “Tidak ada foto. Tapi, di
ruangan ini, kami memasang
beberapa kamera video yang
kami setel secara otomatis.
Setiap ruangan ada kamera dan
kamera. Semua berjalan otomatis sesuai programnya.
Copot celananya, Lin..!” ujar
Tami membentak.
Aku hendak berontak, tapi
dengan kuat Dian memelintir
lenganku. “Ahkk..!”
“Jangan macem-macem.
Menurut adalah kunci
selamatmu. Ngerti..!” bentak
Dian tersenyum sinis.
Celana trainingku kini lepas, berikut sepatuku dan kaos
kakinya. Lina sangat cepat
melakukannya. Kini aku hanya
memakai cawat hitam
kesukaanku yang sangat ketat
sekali dan mengkilap. Bahkan cawat ini tidak lebih seperti
secarik kain lentur yang
membungkus zakar dan pelirku
saja. Sebab karetnya sangat
tipis dan seperti tali.
“Kamu memang seksi dan kekar..,” ucap Tami mendekati
dan menggerayangi zakarku.
“Iya Tam. Sekarang aja ya, aku
udah nggak sabar nih..!” sahut
Dian mengelus-elus pantatku.
“Sama dong. Tapi siapa duluan..?” sahut Lina mengambil
sebotol minyak tubuh untuk
atlet binaraga.
Kulihat mereknya yang diambil
Lina yang paling mahal.
Tampaknya mereka tahu barang yang berkualitas.
“Diam dan diam, oke..?” kata
Lina menuangi minyak itu ke
tangannya.
Begitupun Dian dan Tami. Segera
saja jemari-jemari tangan mereka mengolesi seluruh
tubuhku dengan minyak.
Bergantian mereka meremas-
remas batang zakarku dan
buah pelirku yang masih
memakai cawat ini dengan penuh nafsu. Aku kini sadar,
mereka fans yang maniak seks
berat. Walau masih ABG. Dengan
buas, Tami merengut cawatku
dengan pisau lipatnya, yang
segera disambut tawa ngakak temannya. Zakarku memang
sudah setengah berdiri karena
dorongan dan rangsangan dari
stimulasi perbuatan mereka.
Bagaimanapun juga, walau dalam
situasi yang tertekan, aku tetap normal. Aku tetap
terangsang atas perlakuan
mereka.
“Ouh, sangat besar dan
panjang. Gede sekali Lin..,” ucap
Dian kagum dan senang sembari menimang-nimnag zakarku.
Sedangkan Tami meremas-remas
buah pelirku dengan gemas
sekali, sehingga aku langsung
melengking sakit.
“Duh, rambut kemaluannya dicukur indah. Apik ya..!” sahut
Dian mengusap potongan bentuk
rambut kemaluanku yang
memang kurawat dengan
mencukur rapi.
“Auuhk.., jangan. Jangan.., sakit..!” ucapku yang malah bikin
mereka tertawa senang.
Lina sendiri menciumi daging
zakarku dan menjilat-jilat buas
pelirku. Aku tetap berdiri
dengan kedua kakiku agak terbuka.
Mereka dengan buasnya
menjilati dan menciumi zakar
dan buah pelirku serta
pantatku.
“Ouh.. jangan.. aauhk.. ouhhk.. aahkk..!” teriak-teriak mulutku
terangsang hebat.
Hal itu membuat Tami jadi ganas
dalam mengocok-ngocok batang
zakarku. Sedangkan Lina
gantian meremas-remas buah pelirku. Sementara Dian
menghisap putingku dan
memelintirnya, sehingga putingku
jadi keras dan kencang. Kedua
tanganku kini berpegangan pada
tubuh mereka, karena dorongan birahiku yang mendadak itu. Aku
kian menjerit-jerit kecil dan
nikmat. Teriakan mereka yang
diselingi tawa senang kian
menambah garang perlakuan
mereka atas tubuh telanjangku. Bergantian mereka mngocok-
ngocok zakarku hingga kian
mengeras dan memanjang hebat.
Bahkan mereka dengan buasnya
bergantian menyedot-nyedot
zakarku dengan memasukan ke dalam mulut mereka, sampai-
sampai mereka terbatuk-batuk
karena zakarku menusuk
kerongkongan mereka.
“Nikmat sekali zakarnya, hmm..,
coba diukur Dian. Berapa panjang dan besarnya, aku kok
yakin, ini sangat panjang..!” ujar
Tami sambil terus mengulum-
ngulum dan menjilati zakarku.
Dian segera mengukur panjang
dan besarnya zakarku. “Gila, panjangnya 23
sentimeter, dan garis
lingkarnya.. hmm.., 18 senti. Apa-
apaan ini. Kita pasti terpuaskan.
Dia pasti hebat dan kuat..!” ujar
Dian kagum sambil mengikat pangkal batang zakarku dengan
tali sepatu secara kuat.
Begitupun pangkal buah pelirku
diikat tali sepatu sendiri.
Sementara Lina gantian kini
yang mengocok-ngocok zakarku sambil mengulum-ngulumnya.
Karuan saja, zakarku jadi
tambah keras dan merah panas
membengkak hebat. Otot-
ototnya mengencang ganas. Aku
kian menjerit-jerit tidak kuat dan tidak kuasa lagi menahan
spermaku yang hendak muncrat
ini.
Mendengar itu, Lina mencopot
lagi tali sepatuku di batang
zakarku dan pelirku. Cepat- cepat mereka membuka
mulutnya lebar-lebar di depan
moncong zakarku sambil terus
mengocok-ngocok paling ganas
dan kuat.
“Creet.. croot.. creet.. srreet.. srroott.. creet..!” menyembur
spermaku yang mereka bagi
rata ke mulutnya masing-
masing.
Bergantian mereka menjilati
sisa-sisa spermaku sambil mengurut-ngurut batang
zakarku agar sisa yang masih di
dalam batang zakarku keluar
semua.
“Hmm.. nikmat sekali. Enak..!”
ucap Diam senang. “Iya, spermanya ternyata
banyak sekali.. kental..!” sahut
Lina.
“Ayo, ikat dia di ruang
penyiksaan. Cepat..!” perintah
Tami berdiri, diikuti Lina dan Dian.
Sedangkan aku masih lemas.
Rasa-rasanya mau hancur
badanku. Aku nurut saja
perintah mereka. Memasuki
ruang penyiksaan. Apa pula itu? Mereka dengan
cepat memasang gelang besi di
kedua tangan dan kakiku.
Rantai besi ditarik ke atas. Kini
tubuhku merentang keras
membentuk huruf X. Posisi badanku dibikin sejajar dengan
lantai yang kira-kira setinggi
satu meteran itu. Lampu
menyorot kuat ke arahku.
Keringatku menetes-netes
deras. “Siapa kalian ini sebenarnya..?”
tanyaku memberanikan diri.
“Diam..! Tak ada pertanyaan.
Dan tak boleh bertanya.
Pokoknya menurut. Kamu kini
budak kami. Ngerti..!” bentak Tami mencambuk dadaku dan
punggungku dengan cambuk
yang berupa lima utas kulit
yang ujungnya terdapat bola
berduri. Sakitnya luar biasa.
Mendadak Dian membuka lantai di bawahku. Aku kaget, rupanya
di bawah sana ada liang
seukuran kira-kira lebar 50
senti dan panjang dua meteran.
Dan di lubang sedalam kira-kira
satu meteran itu terdapat tumpukan batu bara yang
membara panas sekali! Pantas
saja, tadi kakiku sempat
merasakan panasnya lantai ubin
ini. Walau kini tubuhku setinggi
kurang dari dua meter dari bara, tapi aku masih kuat
merasakan betapa panasnya
batu bara itu uapnya membakar
kulit tubuhku bagian belakang.
“Cambuk terus..! Sirami dengan
minyak dan jus tomat..!” perinta Tami mencambuki kakiku.
Sedangkan Lina mencambuki
dadaku. Dian mencambuki
punggungku. Panas dan pedih,
semua bercampur jadi satu.
Bersamaan mereka juga mencambuki zakar dan pelirku
yang masih setengah tegang
ereksinya. Batu bara yang
tertimpa minyak dan jus tomat
itu mengeluarkan asap panas
yang segera membakar kulitku. Entah, di menit keberapa aku
bertahan. Yang jelas tidak lama
kemudian aku pingsan.
Saat terbangun, ternyata aku
sudah terbaring di atas ranjang
luas dan empuk bersprei putih kain satin. Tapi kondisiku tidak
jauh beda dengan disiksa tadi.
Kedua tanganku dirantai di
kedua ujung ranjang bawah,
sedangkan badanku melipat ke
atas karena kedua kakiku ditarik dan rantainya diikatkan
di kedua ujung ranjang atas
kepalaku, sehingga dalam posisi
seperti udang ini, aku dapat
melihat anusku sendiri.
Sebuah bantal mengganjal punggungku. Lampu menyorotku.
Tiba-tiba Lina sudah mengakangi
wajahku. Dan dia telanjang
bulat. Kulihat vaginanya yang
mengarah ke wajahku itu bersih
dari rambut kemaluan. Rupanya telah dipangkas bersih.
“Jilati, nikmati lezatnya
kelentitku dan vaginaku ini.
Cepat..!” teriak Lina menampar
wajahku dua kali sambil
kemudian membuka bibir vaginanya dan menjejalkannya
ke mulutku. Terpaksa, aku mulai
menjilati vagina dan seluruh
bagian di dalamnya sambil
menghisap-hisapnya.
Lina mulai menggerinjal-gerinjal geli dan nikmat sambil meremas-
remas sendiri duah dadanya dan
puting-puting susunya yang
kecil itu. Kulihat selintas datang
Dian dan Tami yang juga
telanjang bulat. Sejenak mereka berdua saling berpelukan dan
berciuman. Mereka ternyata
lesbian..! Lina segera beranjak
berdiri.
“Lakukan dulu Lin, kami sedang
mood nih..!” ujar Tami mencimui vagina Dian yang berbaring di
sebelahku sambil menggerinjal-
gerinjal geli.
Kedua tangan Dian meremas-
remas sendiri buah dadanya.
Lina segera saja mengambil boneka zakar yang besar dan
lentur. Segera saja Lina
menuangi anusku dengan madu,
serta merta gadis itu menjilati
duburku. Aku jadi geli.
Kini jemari Lina mulai mengocok- ngocok zakarku, setelah
sebelumnya mengikat pangkal
buah pelirku secara kuat.
“Ouh.. aduh.., aahhk..,” teriakku
mengerang sakit dan nikmat.
Lina dengan cepat segera menusukkan boneka zakar
plastik itu ke dalam lobang
anusku. Karuan saja aku
menjerit sakit. Tapi Lina tidak
perduli. Zakar plastik itu sudah
masuk dalam dan dengan gila, Lina menikam-nikamkan ke
anusku. Aku menjerit-jerit
sejadinya. Sementara tangan
satunya Lina tetap mengocok-
ngocok zakarku sampai ereksi
kembali dengan kerasnya. Tiba-tiba Tami mengakangi
wajahku dan mengencingi
wajahku.
“Diminum. Minum pipisku..
cepat..!” perintah Tami
menanpar-nampar pantatku. Terpaksa, kutelan pipis Tami
yang pesing itu. Rasanya aku
mau muntah. Lebih baik menjilati
vaginanya, ketimbang meminum
pipisnya. Tami tertawa ngakak
sambil mengambil alih mengocok zakarku dengan buas.
“Gantian..!”ujar Dian
menggantikan posisi Tami.
Pipis lagi. Aku kini kenyang
dengan pipis mereka. Tubuhku
basah oleh pipis mereka. Lina masih menusuk-nusuk duburku
dengan zakar plastiknya. Pelan-
pelan rantai dilepas, tapi Lina
malah membenamkan zakar
plastik itu dalam-dalam di
anusku. Kakiku dibuat mengangkang. Dengan buas,
satu persatu memperkosaku.
“Auhk.. aahk.. ouhkk.. yeaah..
ouh..!” teriak-teriak mulut
mereka menggenjot di atas
tubuhnya setelah memasukkan zakarku ke dalam vaginanya.
“Ouh.. ouhk, tidak.. ahhk..
ahhk..!” menjeritku kesakitan
karena sperma yang mestinya
muncrat tertahan oleh tali
ikatan itu. Cambuk kembali melecuti dadaku.
Pokoknya tidak ada yang diam
nganggur. Saat Tami
menggagahiku, Lina mencambuk.
Dian menetesi puting susuku
dengan cairan lilin merah besar. Atau menyirami lilin panas itu ke
anusku. Saking tidak kuatnya
aku, kini aku jatuh pingsan lagi.
Entah berapa lama aku pingsan.
Saat terbangun, banyak
spermaku yang tercecer di perutku. Tidak ada rantai. Tidak
ada lilin. Bahkan mereka juga
tidak ada di sekitarku. Kemana
mereka? Perlahan aku beranjak
berdiri, tertatih-tatih mencari
pakaianku. Tubuhku penuh barut bekas cambuk dan lilin
mengering. Luar biasa sakit dan
pedihnya tersisa kurasakan.
Secarik kertas ditinggalkan
mereka bertiga untukku. Kubaca
dengan muak dan geram. Trim atas waktumu. Tapi kami
belum puas menikmatimu. Kami
pasti datang lagi untuk
kepuasan kami. Kami pergi
karena ada mangsa baru yang
lebih lemah tapi kuat seksnya. Kalau kamu tolak, kami edarkan
videonya. Awas, kamu kini
adalah ‘anjing’ seks kami. Trim.
Sampai jumpa.


Tamat

[ back ][ home ]

Cerita terbaru & Video Terheboh

Web Site Hit Counter