watch sexy videos at nza-vids!
Discover the Best Mobile Websites now!

Ita Gadis Liar

Ita, waktu itu berusia 23 tahun.
Aku mengenalnya sejak SMP.
Tubuhnya 163 cm/49 kg. Ita ini
hobinya makan dan tidur.
Karena itu berat badannya
sangat fluktuatif. Pertama kali kenal, Ita adalah seseorang
yang cukup padat tubuhnya
dengan berat 55 kg. Pernah
pula aku bertemu dengan Ita
yang gemuk sampai 65 kg. Jika kalian para wanita merasa
tidak percaya diri dengan berat
badanmu, tirulah Ita. Dia tidak
pernah minder atau rendah diri.
Senyumnya selalu mengembang.
Orangnya ceria sekali, bertolak belakang dengan Ria. Di samping
itu, Ita sangat tangguh dalam
mengejar berat badan ideal.
Karena itu, aku sempat sangat
terkejut menemukan Ita yang
langsing.. hanya 49 kg! Sebuah usaha yang patut mendapatkan
penghormatan dariku. Karena sifatnya yang mudah
bergaul plus wajahnya yang
cantik, sejak SMP Ita sudah
mengenal pacaran. Sampai
kemudian di SMU, kami satu
sekolah juga. Jumlah cowok yang mengisi hari-hari Ita
semakin banyak. Naik kelas 2
SMU, kami satu kelas. Karena
aku dianugerahi IQ yang tinggi
(151), pelajaran yang oleh
sebagian besar teman-temanku sulit dicerna terasa mudah
bagiku. Karena itu tak heran
jika PR-ku sering dicontek
teman-temanku. Aku memang
dengan bebas mempersilakan
siapa pun belajar dariku, kecuali waktu test. Teman-temanku
sering mengganti istilah
‘menyontek’ dengan ‘belajar
waktu test’. Ada-ada saja.
Tetapi aku agak ‘pelit’ untuk
yang satu ini. Ita adalah salah satu teman
wanita yang minat dan
kemampuannya kurang di
pelajaran eksak. Karena
rumahnya tidak jauh dari
rumahku, maka Ita adalah salah satu teman yang paling rajin ke
rumahku. Keluarga kami saling
mengenal dengan baik. Jadi
kehadiran Ita di rumahku sudah
seperti keluarga sendiri. Ita
bebas keluar masuk rumahku, kecuali keluar masuk kamar
tidur tentunya. Bahkan sampai kuliah, walaupun
berbeda jurusan, kami tetap
satu universitas. Ita semakin
modis dan cantik. Rambutnya
disemir kecoklatan plus ion
dengan busana yang mengikuti trend. Benar-benar tipikal gadis
yang mengikuti perkembangan
jaman. Waktu itu aku ingat Ita
baru putus dari pacarnya
sebulan yang lalu. Aku tahu
karena aku beberapa kali menjadi teman curhatnya. Suatu
sore, Ita meneleponku. “Boy.., gue ditembak Yudha
kemaren.. Wuih.. Gak nyangka
anak kuper begitu seleranya
tinggi amat..” cerocos Ita
cerewet.
“Hah? Maksud lo.. Anak yang suka ama lo berarti seleranya
tinggi. Gitu?” tanyaku
keheranan dengan kepercayaan
dirinya. Over confident nggak
ya, kira-kira?
“Lha iya, lah! Gue kan cantik, baek, sexy, lembut dan
bersahaja..”
“Hehe..” aku tertawa.
“Lho.. Kok diketawain? Bener
kan, Boy?” Ita nggak terima
ditertawakan. “Hm.. Iya deh, Ita memang
cantik dan sexy. Baik juga ama
Boy. Tapi kalo lembut.. Hmm..
Gimana ya.. Agak kurang pas
deh..”
“Waah, ngeledek lo! Aku kan lembut..!!”
“Apanya yang lembut, Ita?”
tanyaku pelan sambil agak
berbisik.
“Ada deh.. Boy mau tahu aja..!”
jawab Ita membuatku bertanya- tanya. Aku yang tadinya tidak berpikir
macam-macam ?alias murni
bercanda-, sekarang jadi curiga. “Ya boleh dong Boy dikasih
tahu kelembutannya Ita..”
jawabku makin berbisik.
“Hii.. Merinding aku dengar
suaramu!” kata Ita agak keras.
Kami tertawa bersama. “Tapi aku nggak naksir Yudha,
Boy..” kata ita kemudian.
“Oh.. Pasti naksir Boy, kan?”
godaku. Kalau betul, wah,
lumayan.
“Yee, GR! Pengen laku yah?” ledek Ita. Waduh.. Kok sepertinya aku
jelek sekali sampai Ita bicara
seperti itu. Tapi emang sih aku
masih jomblo.. “Trus naksir siapa, Ita? Kamu
boleh cerita ama aku kalau
kamu mau..”
“Hm.. Itu, si Hendra. Anak
angkatan atas.. Dia cakep,
bodynya keren.. Sexy! Dan bibirnya.. Ugh.. Pengen kucium
sepuasnya!” Ita mulai ceriwis. Dia tidak sadar aku
mendengarkannya dengan
terkejut. Wah.. Anak ini.. Tapi
memang sasaran Ita si Hendra
anaknya cakep. “Lho, Ita.. Aku kan tingginya
nggak beda jauh ama Hendra?
Body-ku juga pas kan? Bibirku
juga sexy. Kenapa lebih memilih
Hendra?” godaku lebih jauh.
Aku tiba-tiba ingin tahu posisiku di matanya. Padahal.. Aku sama
sekali tidak menyukai si Ita.
“Tau ah! Pokoknya Hendra!
Gimana Boy.. Aku mau kirim
surat ke Hendra nih!”
“Ya.. Terserah lo aja, Ita. Mau kirim surat ya kirim aja. Lo kan
pede orangnya. Masa ginian aja
nanya ke aku?” jawabku
sekenanya. ***** Besok siangnya, sepulang kuliah
aku santai di ruang keluarga.
Papa mamaku belum pulang
kerja. Adik-adikku sedang tidur
siang. Pembantuku juga tidur
mungkin. Aku sedang mengotak- atik komputer saat itu.
Seingatku waktu itu aku sedang
membuat mini games dengan
Turbo Pascal. Kudengar pintu
pagar terbuka disusul suara
anjingku yang menggonggong menyambut tamu yang rupanya
sudah dikenalnya. Ita. “Hai Boy.. Lagi ngapain?” Ita
segera duduk di sofa sambil
melihat ke komputerku.
“Lagi nyoba bikin semacam
game petualangan. Tokohnya
seekor anjing yang berusaha mengumpulkan benda-benda
untuk menyelamatkan anak-
anaknya yang diculik penjahat.”
“Hm.. Ngeganggu ya? Aku mau
curhat boleh?” Tanya Ita. Tentu saja boleh. Game
computer bisa kubuat kapan
pun. Segera aku simpan
pekerjaanku dan kumatikan
komputerku. “Tentang si Yudha atau si
Hendra?” tanyaku menebak.
“Hendra. Aku nggak nyangka
dia seperti itu.”
“Emangnya ada yang salah
dengan Hendra? Kamu jadi mengiriminya surat?”
“Aku memutuskan untuk bicara
langsung dengannya. Kalau
ditolak, tidak masalah. Yang
penting tidak ada bukti tertulis
aku pernah menyukainya. Kalau dia sok banget lalu cerita ke
teman-temannya, aku bisa
menyangkalnya.”
“Wah.. Kamu cerdas juga..”
komentarku. Emang bener sih.
“Hendra menerimaku, Boy. Tapi langsung aku putus lagi dia.
Brengsek tuh anak.”
“Lho, ada apa? Kamu
menyukainya. Hendra
menerimamu, kenapa batal?”
“Ya emang bener kita saling menyukai. Tapi si Hendra
ternyata nafsu sekali. Masa
begitu kami jadian, dia langsung
kiss aku, Boy!”
“Hm.. Gak masalah kan jadian
lalu kissing? Bagimu terlalu cepat ya?” tanyaku mencoba
memahami Ita. Aku banyak mendengar cerita
dari teman-temanku yang
langsung kissing pada hari jadian
mereka. Jadi, aku menganggap
hal itu biasa terjadi. “Ya bener nggak masalah. Tapi
masa kissing belum apa-apa,
tangannya sudah mau
menjelajahi tubuhku. Meremas
payudaraku. Wah.. Cowok apaan
tuh? Emang pacaran buat apaan? Nge-sex?” protes Ita.
Kali ini kuakui Hendra memang
terburu nafsu. Tapi aku ingin
memancing Ita lebih jauh lagi.
“Lho.. Kan nggak harus diputus?
Beri kesempatan dong. Lagian, seingatku, kemarin kamu memuji
keseksiannya. Bibirnya yang
menarik.. Kok sekarang begini?
Wajar kan cowok begitu? Salah
sendiri kamu cantik dan sexy,
Ita?” tanyaku lagi. “Bener aku cantik dan sexy
menurutmu, Boy?” Tanya Ita.
Suaranya terdengar agak berat.
Menurutku dia mulai ingin
menangis.
“Ya, kamu cantik dan sexy.. Wajar kalau Hendra ingin
menyentuhmu..” aku agak nekat
berkata seperti ini. Perkataanku
kali ini keluar dari jalur
empatiku terhadap Ita.
Resikonya Ita akan berpikiran aku seperti hendra. Tapi
ternyata Ita agak memerah
mukanya. Aku belum berani
mengartikan perubahan warna
mukanya.
“Kalau Boy.. Apa ingin menyentuhku?” bisik Ita. Kali ini aku seperti disambar
petir. Sungguh di luar dugaanku.
Sekian detik aku berusaha
mencerna maksud kalimatnya.
Merekonstruksi kejadian telepon
kemarin, kisah Yudha, dan Hendra. Aku punya dugaan,
tetapi aku belum yakin. Tiba-
tiba darahku berdesir. Aku
tegang memikirkan kata-kataku
selanjutnya untuk memancing
apa maksud Ita. “Hm.. Ita terlalu berharga untuk
sekedar di sentuh..” bisikku. Kali
ini aku menyelidiki matanya. Eyes
never lies. Pupil matanya
mengecil. Ita menyimpan sesuatu.
“Lalu apa yang ingin cukup berharga untuk Boy lakukan
terhadap Ita?” tanyanya
kemudian. Dugaanku semakin kuat. Aku
hampir melonjak kegirangan
ketika menemukan kesimpulanku.
Tapi aku bukan pria yang
gegabah. Aku masih
membutuhkan tambahan informasi untuk dugaanku.
Kurasakan penisku ereksi.
Entahlah, kalau otakku lagi
menaikkan kinerjanya, seringkali
penisku ereksi. “Kalau aku.. Aku akan membuat
Ita melayang. Menembus awan,
terbang ke langit merasakan
kebebasan. Ya.. Boy mungkin
akan jauh lebih berani dari
Hendra..” Aku berdebar menantikan reaksi
Ita. Aku berharap pembaca
mengerti. Dalam dugaan di
pikiranku saat itu, cerita
tentang si Hendra adalah
rekayasa Ita. Aku sudah pada satu kesimpulan bahwa Ita
menyukai dan menginginkanku.
Dan Ita memancingku untuk
mengetahui seberapa berani aku
terhadapnya. Tetapi memang
dugaanku ini menyisakan kemungkinan untuk salah. Jika
ternyata Ita jujur, maka aku
sudah telanjur mengungkapkan
hasratku. Aku setali tiga uang
dengan hendra. Menginginkan
tubuh Ita. “Bagaimana cara Boy
membawaku terbang
melayang..?” bisik Ita sambil
mendekatkan wajahnya. Aku mulai bisa merasakan
hangat nafasnya. Aku jadi takut
melangkah. Seharusnya aku
sudah menciumnya saat itu.
Merengkuh tubuhnya dan
menunjukkan caraku membawanya terbang melayang.
Daripada dengan kata-kata,
jauh lebih baik dengan
perbuatan. Tapi justru sikap Ita
membuatku hati-hati. Penisku
semakin tegang. Gila.. Apa maksudmu, Ita? Sedetik.. Dua detik.. Tiga detik..
Dan aku memutuskan untuk
tidak menciumnya. Aku berdiri dan duduk di sofa di
sampingnya. Ini rumahku. Tentu
aku tidak mau dipermalukan di
rumahku sendiri. Tampaknya aku
kehilangan momen menentukan
tadi. “Boy?” bisik Ita. Dia
memalingkan tubuhnya
menghadapku.
“Aku bisa mencumbumu,
membuat tubuhmu merasakan
kenikmatan dan akhirnya bercinta denganmu, membawamu
terbang melayang. Tetapi aku
menghargaimu, Ita. Aku bukan
Hendra. Aku tidak akan
menyentuh tubuhmu tanpa
ijinmu. Tanpa kau sendiri yang menginginkannya untuk aku
lakukan terhadapmu..” aku
akhirnya memilih berhati-hati.
Sesaat aku ingin kesempatan
yang tadi terulang. Mungkin aku
betul-betul akan menciumnya kalau kesempatan itu ada lagi. Plak!, sebuah tamparan dari Ita
ke wajahku. Aku terkejut. Tidak
ada alasan bagi Ita untuk
berhak menamparku. Aku tidak
bersalah. Sedetik kemudian aku
sadar. Ini mungkin momen kedua. Tamparan tadi pasti ijin dari Ita
agar aku menciumnya. Dan aku
merengkuh tubuhnya.
Menciumnya tepat di bibirnya. Ita menyambut ciumanku dengan
dahsyat. Bibirnya bergerak
lincah berpadu dengan lidahnya
yang menari-nari mencumbuku.
Aku merasakan sensasi baru
dalam bercumbu karena kehebatan Ita memainkan
lidahnya. Lidahnya seperti punya
nyawa sendiri. Bisa hidup dan
bergerak sendiri. Aku tentu saja
tidak mau kalah. Kugunakan
bibir dan lidahku pula untuk melayani permainannya. Benar-
benar percumbuan yang panas.
Tangannya mengacak-acak
rambutku. Sedangkan aku
terkonsentrasi pada bibirnya.
Tanganku menahan lehernya agar tetap dekat denganku. “Uhm..” ciumanku beralih ke
pipi, leher dan telinganya. Ita
menggelinjang hebat ketika aku
mencium telinganya.
“Ughh..” desah Ita. Bahasa tubuh Ita ini khas sekali.
Sangat penuh dengan sentakan.
Seakan-akan seluruh tubuhnya
berisi titik-titik peka yang
mudah dirangsang. Bagian apa
pun yang kusentuh dengan tanganku, membuatnya
menggelinjang. Gadis ini liar dan
menggairahkanku! “Si Hendra itu rekayasamu,
ya?” bisikku di telinganya untuk
memastikan dugaanku.
“I.. Iyah..” jawab Ita sambil
menahan nikmat. Aku tertawa penuh kemenangan
dalam hati. Dugaanku ternyata
benar. Untung aku tidak
kehilangan momen keduaku ini.
Tanganku menyelusup ke balik
kaosnya. Meraba kait bra-nya yang 34C dan melepas bra-nya
turun. Dengan lembut aku
menempatkan telapak tanganku
ke payudaranya. Aku
meletakkan putingnya tepat di
tengah telapak tanganku dan mulai kuputar tanganku. Sesekali
aku menekan payudaranya yang
lembut. “Kau.. Memang lembut Ita..”
bisikku. Lidahku kini memasuki
telinganya. Ita kegelian. Sontak
kepalanya menunduk ke arah
bahunya, menjepit wajahku.
Refleks menahan geli. Tangan
kiriku dengan leluasa menjelajahi punggungnya yang ditumbuhi
bulu-bulu sangat halus. Ita
beberapa kali tersentak
menahan rangsangan di
punggungnya. Wah.. Gadis ini
mudah sekali dirangsang, pikirku. Bibir kami kembali beradu.
Bercumbu dengan sebebas-
bebasnya. Sepuas-puasnya. Aku
terkejut ketika tiba-tiba Ita
melenguh cukup keras. Kuatir
kalau adik atau pembantuku terbangun dari tidurnya. Dengan
bersemangat aku menggendong
tubuh Ita. Sambil tetap
bercumbu aku membawanya
masuk ke kamarku.
Membaringkan tubuh Ita ke spring bed, mengunci pintu,
menyalakan AC dan memutar
radio. Setidaknya suara Ita
tidak akan terdengar sampai
keluar. Begitu aku selesai memutar
radio, kulihat Ita sudah melepas
kaosnya dan celana dalamnya.
Dia telanjang bulat di depanku.
Sungguh tubuhnya sangat indah.
Payudaranya yang 34C terlihat begitu memukau. Bentuknya
sangat seksi. Pas di tubuhnya
yang langsing. Beberapa saat
kami berhadap-hadapan. Aku
menikmati memperhatikan
tubuhnya yang utuh. Ita kemudian melompat ke
arahku. Memelukku sambil
tangannya bergerak cepat
melepas kaos dan celanaku.
Sangat terampil dan cekatan.
Dalam waktu singkat kami sama-sama telanjang bulat. Ita
sungguh liar. Sambil sama-sama
berdiri kami bercumbu lagi.
Beberapa kali aku harus
menahan keseimbangan agar
tidak terjatuh. Ternyata sulit bercumbu dengan
penuh semangat sambil berdiri
tanpa sandaran. Perlahan aku
menyandarkan tubuh Ita ke
dinding kamarku. Eh, Ita tidak
mau. Aku yang disandarkannya ke dinding kamarku. Dia
menyerangku. Mencumbuku
dengan semangat. Lidahnya
mulai menyapu leherku, dan
menggigitku kecil. Kemudian
turun ke dada, perut dan akhirnya menemukan penisku
yang sudah berdiri tegak. “Aagh..” aku melenguh menahan
nikmat saat Ita mulai
mengoralku. Tidak hanya mengoral.
Tangannya juga aktif memijat
penisku dari batang penis,
menuju pangkal penis.
Memainkan testisku, kadang
tangannya dengan nakal membuat guratan maya dari
penis ke anusku. Sangat
menggairahkan. Oralnya dahsyat
juga. Ita tanpa segan mengulum
penisku dan sepertinya dia
berusaha menelan semua penisku! “Ah.. Ah..” aku hanya bisa
mendesah. Kepala penisku semakin
membesar dengan warna
kemerahan. Aku tahu, ini ereksi
maksimalku. Penisku mencapai
diameter terbesarnya. Sekitar
4.2 ? 4.7 cm. Ita makin bersemangat mengoralku.
Sekarang dia berusaha
menghisap kepala penisku. Oh..
Dia menemukan sisi lemah
penisku. Aku paling tidak tahan
kalau serangan oral ditujukan hanya ke kepala penisku. “Lepas dulu Ita, aku tidak
tahan..” bisikku. Daripada aku orgasme saat itu,
rugi berat. Aku harus pandai
mengatur tempo. Ita
mematuhiku. Dia hanya memijat
penisku dengan tangannya.
Perlahan aku ikut menunduk. Mataku menatap
selangkangannya. Ita tampaknya
mengerti maksudku. Dia duduk di
atas spring bed dan membuka
kakinya lebar-lebar. Kepalaku
masuk dan aku mulai mengoralnya. Baunya mirip
dengan Ria, sama-sama khas.
Tetapi bau milik Ita lebih harum.
Belakangan aku tahu Ita
menggunakan pengharum
khusus. Aku merasa lebih enjoy mengoral Ita kali ini. Vagina Ita
bulunya dicukur sampai hanya
tersisa sedikit. Aku menyibak
labia mayoranya dan mulai
menyedot vaginanya. “Arg..” Ita melenguh. Lidahku menari-nari dengan
bebas. Menghisap dan menjilat
dengan leluasa. Aku seperti
menemukan sirup kental asin di
vaginanya yang basah. Aku mulai
terbiasa dengan rasa asin itu. Kunikmati saja. Srrt.. H.. Slurrpp..,
aku benar-benar mengoral Ita
sepuasku. Tubuh Ita tersentak-
sentak. Rambutku dijambaknya
dengan keras. Bahkan kadang
tangannya mengepal memukuli tubuhku. “Boy, ah.. Kau.. Arghh..” suara
Ita tak kudengar jelas. Dia meraung dan menggelinjang.
Setelah beberapa menit,
mulutku terasa capek. Aku
kemudian menggunakan dua
buah jariku untuk mencari G-
spotnya. Di dinding dalam vaginanya, aku menemukan
daerah yang ada bintik-bintik
kecilnya. Aku berhenti disitu dan
mulai merangsangnya disitu.
Tubuh Ita bergetar makin hebat.
Aku belum yakin apakah itu G- Spotnya, tetapi yang jelas
reaksi tubuh Ita sungguh
dahsyat. Dia sampai menjerit
dan berteriak.. “Argh.. Enaakk!! Terus Boy..!” Aku tak peduli apakah teriakan
Ita terdengar sampai keluar.
Yang jelas aku makin
bersemangat menyiksanya
dengan kenikmatan. Tak lama
kemudian aku mengambil kondom dan memakainya. Aku sampai
saat itu masih tetap ingin
bercinta dengan kondom. Ita
tampaknya tidak keberatan aku
memakai kondom. “Sudah pengalaman pakai
kondom ya?” goda Ita. Aku
tersenyum. Jadi ingat Ria, nih. Aku meminta Ita membalikkan
tubuhnya. Ingin kucoba posisi
doggy. Perlahan kumasukkan
penisku. Ternyata lebih mudah
memasukkan penis dengan posisi
seperti ini. Mulai kudorong lebih dalam dan.. ‘bless..’ penisku
sukses memasuki sarang
kenikmatan. Kami bercinta dengan dahsyat.
Pertama aku memompa penisku
dengan tempo pelan. Menikmati
setiap gesekannya. Kemudian
temp bertambah cepat.
Bertambah cepat lagi dan akhirnya sampai terdengar
bunyi yang khas setiap aku
memompakan penisku ke
vaginanya. Ita kali ini lebih diam. Dia hanya
melenguh sesekali. Kulihat
bibirnya merapat. Mungkin ini
caranya menikmati
persetubuhan. Aku terus
memompa penisku. Keluar masuk vaginanya. Sesekali aku berhenti
untuk mengambil nafas,
memutar-mutar penisku dan
kalau aku sudah di ambang
orgasme, aku berhenti lagi. Aku
tidak mau tergesa-gesa orgasme. “Ganti posisi, Boy..” kata Ita. Aku kemudian telentang di
springbedku. Ita menaikiku dari
atas. Kubantu penisku memasuki
vaginanya. Wah, ini pertama
kalinya aku bercinta dengan
tubuh di bawah. Aku sedikit kesakitan waktu Ita hendak
menurunkan tubuhnya. Agak
kurang pas mungkin. Setelah
beberapa kali mencoba, akhirnya
kami sukses melakukannya. Ternyata enak juga. Aku tidak
banyak bergerak. Hanya
tanganku sesekali meremas
lembut payudaranya. Selebihnya
Ita yang aktif. Tampaknya ini
posisi favorit Ita. Dia memutar- mutar pantatnya, naik turun
mempermainkan penisku.
Kurasakan denyut vaginanya
yang menjepit penisku. Luar
biasa. Aku akhirnya bisa
bercinta lebih lama dibanding dengan Ria. “Arg.. Argh..” Suara Ita
menikmati percintaan kami. Tak lama kemudian kurasakan
tubuh Ita bergetar makin hebat,
makin hebat dan gerakannya
makin cepat. Ita sedang berlari
mengejar orgasmenya. Beberapa
saat kemudian Ita menghentikan gerakannya. Tubuhnya
menegang dan ia melenguh
panjang.. Rupanya Ita mencapai
orgasmenya. Yang aku ingat,
ada ciri menarik dari orgasme
Ita. Orgasmenya berbunyi! Ada bunyi yang keluar dari
vaginanya. Aku sampai
terheran-heran kemudian
tertawa. “Kamu orgasme ya? Kok
bunyi?” kataku heran.
“Iyaa.. Jangan diledek ya!” kata
Ita manja. Posisi berganti lagi. Aku memilih
posisi konvensional dengan
tubuhku diatas. Aku ingin
menikmati melihat wajah dan
tubuh Ita dengan bebas. Dengan
posisi ini, energi yang kukeluarkan makin banyak. Tak
lama kemudian akupun orgasme.
Aku dengan lega menyemburkan
spermaku. Kemudian kutarik
penisku dan kulepas kondomnya. “Kamu luar biasa..” bisikku
sambil mencium hidungnya.
“Makasih ya Boy.. Aku sudah
lama menyayangimu. Tapi kupikir
kamu anaknya kuper. Cuma
mengurus komputer dan buku kuliah. Ternyata kamu menikmati
sex juga..”
“Kamu kapan mulai kenal Sex,
Ita?” tanyaku sambil memeluk
pinggangnya dan mengelusnya
lembut. “Dari SMU kelas 1, Boy. Tuh si
Erdy yang dapat.” Kata Ita
terus terang. Wah, aku tidak suka mengetahui
siapa cowok yang pernah
bercinta dengan wanita yang
berbagi kenikmatan denganku.
Tetapi aku menghargai Ita yang
berterus terang. “Kamu hipersex ya, Ita?”
tanyaku lagi.
“Engga tuh, Boy. Aku angin-
anginan. Kalau aku lagi
penasaran dengan seseorang,
aku bisa tiba-tiba bergairah dengannya. Tapi pernah juga
aku pacaran 5x tanpa making
love. Malas aja gitu. Tak tentu
deh.” Aku mendapatkan jawaban yang
berbeda lagi. Jangan-jangan tiap
wanita berbeda jawabannya? “Kalau lagi kepingin.. Kamu
memilih masturbasi atau making
love?”
“Ya making love lah! Jauh lebih
enak. Ngapain masturbasi? Tapi
aku tidak bisa making love dengan sembarang pria, Boy.
Kamu orang ke tiga yang ML
denganku.” Aduh.. Aku orang ketiga! Aku
benar-benar tidak suka
kejujuran seperti ini. Tidak ada
perlunya aku tahu bahwa aku
orang ke tiga yang bercinta
dengannya. “Lalu.. apakah sex itu sangat
penting bagimu? Apakah sex itu
salah satu yang terutama?”
aku kemudian menceritakan
rasa penasaranku terhadap
wanita. Aku juga bercerita tentang pendapat Lucy dan Ria.
“Dulu aku berpikiran tidak.
Tetapi setelah merasakan ML
pertamaku yang luar biasa, aku
jadi merasa sangat
membutuhkan sex. Rasanya, memang sex menjadi salah satu
yang utama.”
“Oh ya? Kalau ada cowok
dengan daya seks yang hebat,
tetapi dia tidak setia, tidak
menghargaimu dan banyak sisi negatifnya.. Dibanding dengan
cowok yang setia,
menghargaimu.. Dan banyak sisi
positifnya, tetapi daya seksnya
sangat lemah atau impoten,
kamu pilih yang mana?” tanyaku kemudian.
“Wah.. Susah nih jawabnya.
Lagian tidak mungkin kan
seseorang dengan potensi sex
hebat tapi semua pribadinya
jelek? Dan juga aku rasa hanya sedikit orang yang impoten
permanen. Selebihnya pasti ada
solusi untuk impotensinya.”
“Jawab aja. Aku cuma ingin
tahu.” desakku pelan.
“Hm.. Kamu jangan cerita ke orang lain ya. Papaku sekarang
impotent. Tapi dia jauh lebih
baik dibanding dulu. Dari
curhatnya Mama ke aku,
rasanya Mama lebih suka Papa
yang sekarang deh.” “Itu kan Mamamu. Kalau
kamu?”
“Susah, Boy, aku jawab lain kali
ya?” Nah, aku tidak bisa memaksanya
bukan? Jawaban kira-kira juga
tidak akan enak disimpulkan.
Yah, aku berharap dengan
berjalannya waktu, Ita akan
terus berpikir dan lalu menyimpulkannya.


Tamat

[ back ][ home ]

Cerita terbaru & Video Terheboh

Web Site Hit Counter