watch sexy videos at nza-vids!
m.tokobagus

Salon Plus

Pada hari Sabtu yang telah
kami sepakati dengan teman
dia, dan kami janjian ketemu di
salon itu jam 13:00. Aku pun
meluncur ke salon itu untuk
potong rambut, sejenak aku melirik jam tangan, terlihat jam
satu kurang beberapa menit
saja dan kuputuskan untuk
masuk. Seperti halnya salon-
salon biasa, suasana salon ini
normal tidak ada yang luar biasa dari tata ruangnya serta
kegiatannya. Pada pertama kali
aku masuk, aku langsung
menuju ke tempat meja
reception dan di sana aku
mengatakan niat untuk potong rambut. Dikatakan oleh wanita
cantik yang duduk di balik
meja reception agar aku
menunggu sebentar sebab
sedang sibuk semua. Sambil
menunggu, aku mencoba untuk melihat-lihat sekitar siapa tahu
ada temanku, tapi tidak
terlihat ada temanku di antara
semua orang tersebut.
Mungkin dia belum datang,
pikirku. Kuakui bahwa hampir semua wanita yang bekerja di
salon ini cantik-cantik dan
putih dengan postur tubuh
yang proporsional dan aduhai.
Kalau boleh memperkirakan
umur mereka, mereka berumur sekitar 20-30 tahun. Aku jadi
teringat dengan omongan
temanku, Hanni, bahwa mereka
bisa diajak kencan. Namun aku
sendiri masih ragu sebab salon
ini benar-benar seperti salon pada umumnya. Setelah beberapa menit
menunggu, aku ditegur oleh
reception bahwa aku sudah
dapat potong rambut sambil
menunjuk ke salah satu
tempat yang kosong. Aku pun menuju ke arah yang
ditentukan. Beberapa detik
kemudian seorang wanita muda
nan cantik menugur sambil
memegang rambutku.
“Mas, rambutnya mau dimodel apa?” katanya sambil
melihatku lewat cermin dan
tetap memegang rambutku
yang sudah agak panjang.
“Mmm… dirapi’in aja Mbak!”
kataku pendek. Lalu seperti halnya di tempat
cukur rambut pada umumnya,
aku pun diberi penutup pada
seluruh tubuhku untuk
menghindari potongan-
potongan rambut. Beberapa menit pertama begitu kaku
dan dingin. Aku yang diam saja
dan dia sibuk mulai motong
rambutku. Sangat tidak enak
rasanya dan aku mencoba
untuk mencairkan suasana. “Mbak… udah lama kerja di
sini?” tanyaku.
“Kira-kira sudah enam bulan,
Mas… ngomong-ngomong situ
baru sekali ya potong di sini?”
sambungnya sambil tetap memotong rambut.
“Iya… kemarenan saya lewat
jalan ini, terus kok ada salon,
ya udah dech, saya potong di
sini. Ini juga janjian sama
temen, tapi mana ya kok belum datang?” jawabku
sedikit berbohong.
“Ooo..” jawabnya singkat dan
berkesan cuek.
“Hei…” terdengar suara
temanku sambil menepuk pundak.
“Eh… elo baru dateng?”
tanyaku.
“Iya nih… tadi di bawah
jembatan macet, mmm… gue
potong dulu yach..” jawabnya sambil berlalu. Ngobrol punya ngobrol,
akhirnya kami dekat, dan
belakangan aku tahu Stella
namanya, 22 tahun, dia kost di
daerah situ juga, dia orang
Manado, dia enam bersaudara dan dia anak ketiga. Kami pun
sepakat untuk janjian ketemu
di luar pada hari Senin. Untuk
pembaca ketahui setiap hari
Senin, salon ini tutup. Setelah
aku selesai, sambil memberikan tips sekedarnya, aku
menanyakan apakah ia mau
aku ajak makan. Dia
menyanggupi dan ia menulis
pada selembar secarik kertas
kecil nomor teleponnya. Sambil menunggu Hanni, aku ngobrol
dengan Stella, aku sempat
diperkenalkan oleh beberapa
temannya yang bernama Susi,
Icha dan Yana. Ketiganya
cantik-cantik tapi Stella tidak kalah cantik dengan mereka
baik itu parasnya juga
tubuhnya. Susi, ia berambut
agak panjang dan pada
beberapa bagian rambutnya
dicat kuning. Icha, ia agak pendek, tatapannya agak
misterius, dadanya sebesar
Stella namun karena postur
tubuhnya yang agak pendek
sehingga payudaranya
membuat ngiler semua mata laki-laki untuk menikmatinya.
Sedangkan Yana, ia tampak
sangat merawat tubuhnya, ia
begitu mempesona, lingkar
pinggangnya yang sangat ideal
dengan tinggi badannya, pantatnya dan dadanya-pun
sangat proporsional. Akhirnya kami ketemu pada
hari Senin dan di tempat yang
sudah disepakati. Setelah
makan siang, kami nonton
bioskop, filmnya Jennifer
Lopez, The Cell. Wah, cakep sekali ini orang, batinku
mengagumi kecantikan Stella
yang waktu itu mengenakan
kaos ketat berwarna biru
muda ditambah dengan rompi
yang dikancingkan dan dipadu dengan celana jeans ketat
serta sandal yang tebal. Kami
serius mengikuti alur cerita film
itu, hingga akhirnya semua
penonton dikagetkan oleh
suatu adegan. Stella tampak kaget, terlihat dari
bergetarnya tubuh dia. Entah
ada setan apa, secara reflek
aku memegang tangan
kanannya. Lama sekali aku
memegang tangannya dengan sesekali meremasnya dan ia
diam saja. Singkat cerita, aku
mengantarkan dia pulang ke
kostnya, di tengah jalan Stella
memohon kepadaku untuk
tidak langsung pulang tapi
putar-putar dulu. Kukabulkan permintaannya karena aku
sendiri sedang bebas, dan
kuputuskan untuk naik tol dan
putar-putar kota Jakarta.
Sambil menikmati musik, kami
saling berdiam diri, hingga akhirnya Stella mengatakan,
“Mmm… Will, aku mau ngomong
sesuatu sama kamu, memang
semua ini terlalu cepat, Will…
aku suka sama kamu…”
katanya pelan tapi pasti. Seperti disambar petir
mendengar kata-katanya, dan
secara reflek aku menengok
ke kiri melihat dia, tampaknya
dia serius dengan apa yang
barusan ia katakan. Dia menatap tajam.
“Apa kamu sudah yakin
dengan omonganmu yang
barusan, Tel?” tanyaku sambil
kembali konsentrasi ke jalan.
“Aku nggak tau kenapa bahwa aku merasa kamu
nggak kayak laki-laki yang
pernah aku kenal, kamu baik,
dan kayaknya perhatian and
care. Aku nggak mau kalo
setelah aku pulang ini, kita nggak bisa ketemu lagi, Will.
Aku nggak mau kehilangan
kamu,” jawabnya panjang
lebar.
“Mmm… kalo aku boleh jujur
sich, aku juga suka sama kamu, Tel… tapi kamu mau
khan kalo kita nggak pacaran
dulu?” tegasku.
“Ok, kalo itu mau kamu,
mmm… boleh nggak aku ’sun’
kamu, bukti bahwa aku nggak main-main sama omonganku
yang barusan?” tanyanya. Wah rasanya seperti mau mati,
jantungku mau copot, nafas
jadi sesak. Edan ini anak,
seperti benar-benar! Sekali
lagi, aku menengok ke kiri
melihat wajahnya yang bulat dengan bola mata yang
berwarna coklat, dia
menatapku tajam dan serius
sekali.
“Sekarang?” tanyaku sambil
menatap matanya, dan dia menganguk pelan.
“OK, kamu boleh ’sun’ aku,”
jawabku sambil kembali ke
jalanan.
Beberapa detik kemudian dia
beranjak dari tempat duduknya dan mengambil posisi
untuk memberi sebuah “sun”
di pipi kiriku. Diberilah sebuah
ciuman di pipi kiriku sambil
memeluk. Lama sekali ia
mencium dan ditempelkannya payudaranya di lengan kiriku.
Ooh, empuk sekali, mantap!
Payudaranya yang cukup
menantang itu sedang
menekan lengan kiriku. Edan,
enak sekali, aku jadi terangsang nih. Secara
otomatis batang kemaluanku
pun mengeras. Dengan pelan
sekali, Stella berbisik, “Will,
aku suka sama kamu,” dan ia
kembali mencium pipiku dan tetap menekan payudaranya
pada lengan kiriku.
Konsentrasiku buyar,
sepertinya aku benar-benar
sudah terangsang dengan
perlakuan Stella, dan beberapa kendaraan yang melaluiku
melihat ke arahku menembus
kaca filmku yang hanya 50%.
“Kamu terangsang ya, Will?”
tanyanya pelan dan agak lirih.
Aku tidak menjawab. Tangan kirinya mulai mengelus-elus
badanku dan mengarah ke
bawah. Aku sudah benar-benar
terangsang. Sekali lagi Stella
berbisik, “Will, aku tau kamu
terangsang, boleh nggak aku lihat punyamu? punya kamu
besar yach!” aku mengangguk.
Dibukalah celana panjangku
dengan tangan kirinya, seperti
ia agak kesulitan pada saat
ingin membuka ikat pinggangku sebab dia hanya menggunakan
satu tangan. Aku bantu dia
membuka ikat pinggang setelah
itu aku kembali memegang
setir mobil. Dielus-elus batang kemaluanku
yang sudah keras dari luar.
Tidak lama kemudian
ditelusupkan telapak kirinya ke
dalam dan digenggamlah
kemaluanku. “Ooh…” desahku pelan. Sedikit demi sedikit
wajahnya bergerak. Pertama,
ia cium bibirku dari sebelah kiri
lalu turun ke bawah. Ia cium
leherku, dan ia sempat
berhenti di bagian dadaku, mungkin ia menikmati aroma
parfum BULGARI-ku. Ia makin
turun dan turun ke bawah.
Beberapa kali Stella melakukan
gerakan mengocok kemaluanku.
Pertama-tama dijilatinya pangkal batang kemaluanku
lalu merambat naik ke atas.
Ujung lidahnya kini berada
pada bagian biji kejantananku.
Salah satu tangannya
menyelinap di antara belahan pantatku, menyentuh anusku,
dan merabanya. Stella
melanjutkan perjalanan
lidahnya, naik semakin ke atas,
perlahan-lahan. Setiap gerakan
nyaris dalam beberapa detik, teramat perlahan. Melewati
bagian tengah, naik lagi. Ke
bagian leher batangku. Kedua
tanganku tak kusadari sudah
mencengkeram setir mobil.
Ujung lidahnya naik lebih ke atas lagi. Pelan-pelan setiap
jilatannya kurasakan bagaikan
kenikmatan yang tak pernah
usai, begitu nikmat, begitu
perlahan. Setiap kali
kutundukkan wajahku melihat apa yang dilakukannya setiap
kali itu pula kulihat Stella
masih tetap menjilati
kemaluanku dengan penuh
nafsu. Sesaat Stella kulihat
melepaskan tangannya dari
kemaluanku, ia menyibakkan
rambutnya ke samping tiga
jarinya kembali menarik bagian
bawah batang kemaluanku dengan sedikit memiringkan
kepalanya. Stella kemudian
mulai menurunkan wajahnya
mendekati kepala
kejantananku. Ia mulai
merekahkan kedua bibirnya, dengan berhati-hati ia
memasukkan kepala
kemaluanku ke dalam mulutnya
tanpa tersentuh sedikitpun
oleh giginya. Kemudian
bergerak perlahan-lahan semakin jauh hingga di bagian
tengah batang kemaluanku.
Saat itulah kurasakan kepala
kejantananku menyentuh
bagian lidahnya. Tubuhku
bergetar sesaat dan terdengar suara khas dari
mulut Stella. Kedua bibirnya
sesaat kemudian merapat.
Kurasakan kehangatan yang
luar biasa nikmatnya
mengguyur sekujur tubuhku. Perlahan-lahan kemudian
kepala Stella mulai naik.
Bersamaan dengan itu pula
kurasakan tangannya menarik
turun bagian bawah batang
tubuh kejantananku hingga ketika bibir dan lidahnya
mencapai di bagian kepala,
kurasakan bagian kepala itu
semakin sensitif. Begitu
sensitifnya hingga bisa
kurasakan kenikmatan hisapan dan jilatan Stella begitu
merasuk dan menggelitik
seluruh urat-urat syaraf yang
ada di sana. Kuraba
punggungnya dengan tangan
kiriku, kuelus dengan lembut lalu mengarah ke bawah.
Kudapatkan payudara sebelah
kanan. Kubuka telapak
tanganku mengikuti bentuk
payudaranya yang bulat.
Kuremas dengan lembut. Kubuka satu persatu kancing
rompinya, dan kembali aku
membuka tepak tangan
mengikuti bentuk payudaranya.
Sambil tetap mengulum, tangan
kanannya bergerak menyentuh tanganku, ia tarik baju
ketatnya dari selipan celana
panjangnya. Dipegangnya
tanganku dan diarahkannya ke
dalam. Di balik baju ketatnya,
aku meremas-remas payudaranya yang masih
terbungkus BH. Kuremas satu
persatu payudaranya sambil
mendesah menikmati kuluman
pada kemaluanku. Kuremas agak kuat dan Stella
pun berhenti mengulum sekian
detik lamanya. Kuelus-elus kulit
dadanya yang agak menyembul
dari BH-nya dengan sesekali
menyelipkan salah satu jariku di antara payudaranya yang
kenyal. “Agh…” desahku
menikmati kuluman Stella yang
makin cepat. Aku turunkan BH-
nya yang menutupi payudara
sebelah kanan, aku dapat meraih putingnya yang sudah
mengeras. Kupilin dengan
lembut. “Ooh… esst…”
desahnya melepas kuluman dan
terdengar suara akibat
melepaskan bibirnya dari kemaluanku. Menjilat,
menghisap, naik turun. Ia
begitu menikmatinya. Begitu
seterusnya berulang-ulang.
Aku tak mampu lagi melihat ke
bawah. Tubuhku semakin lama semakin melengkung ke
belakang kepalaku sudah
terdongak ke atas.
Kupejamkan mataku. Stella
begitu luar biasa
melakukannya. Tak sekalipun kurasakan giginya menyentuh
kulit kejantananku. Gila, belum
pernah aku dihisap seperti ini,
pikirku. Pikiranku sudah
melayang-layang jauh entah
ke mana. Tak kusadari lagi sekelilingku oleh gelombang
kenikmatan yang mendera
seluruh urat syaraf di tubuhku
yang semakin tinggi. Aku
berhenti sejenak meraba
payudaranya. Kutengok ke bawah, tangan kanannya
menggenggam dengan erat
persis di bagian leher batang
kemaluanku, dan ia terlihat
tersenyum kepadaku. “Kamu
luar biasa, Tel,” bisikku sambil menggeleng-gelengkan kepala
terkagum-kagum oleh
kehebatannya. Stella
tersenyum manis dan berkesan
manja. “Eh, bisa keluar aku
kalo kamu kayak gini terus,” bisikku lagi merasakan
genggaman tangannya yang
tak kunjung mengendur pada
kemaluanku. Stella tersenyum.
“Kalo kamu udah nggak
pengen keluar, keluarin aja, nggak usah ditahan-tahan,”
jawabnya dan setelah itu
menjulurkan lidahnya keluar
dan mengenai ujung batang
kemaluanku. Rupanya ia
mengerti aku sedang berjuang untuk menahan ejakulasiku. “Aaghhh…” desahku agak
keras menahan rasa ngilu.
Bukan kepalang nikmat yang
kurasakan, tubuhnya bergerak
tidak karuan, seiring dengan
gerakan kepalanya yang naik turun, kedua tangannya tak
henti-henti meraba dadaku,
terkadang ia memilin kedua
puting susuku dengan jarinya,
terkadang ia melepaskan
kuluman untuk mengambil nafas sejenak lalu
melanjutkannya lagi. Semakin
lama gerakannya makin cepat.
Aku sudah berusaha
semaksimal untuk menahan
ejakulasi. Kualihkan perhatianku dari payudaranya. Aku meraba
ke arah bawah. Kubuka
kancing celananya. Agak lama
kucoba membuka dan akhirnya
terlepas juga. Pelan-pelan
kuselipkan tangan kiriku di balik celana dalamnya. Aku
dapat rasakan rambut
kemaluannya tipis. Mungkin
dipelihara, pikirku dalam hati.
Kuteruskan agak ke bawah.
Stella mengubah posisinya. Tadinya ia yang hanya
bersangga pada satu sisi
pantatnya saja, sekarang ia
renggangkan kedua kakinya.
Dengan mudah aku dapat
menyentuh kemaluannya. Beberapa saat telunjukku
bermain-main di bagian atas
kemaluannya. Aku naik-
turunkan jari telunjukku. Ugh,
nikmat sekali nih rasanya,
pikirku. Sesekali kumasukkan telunjukku ke dalam lubang
kemaluannya. Aku jelajahi
setiap milimeter ruangan di
dalam kemaluan Stella. Aku
temukan sebuah kelentit di
dalamnya. Kumainkan klitoris itu dengan telunjukku. Ugh,
pegal juga rasanya tangan
kiriku. Sejenak kukeluarkan
jariku dari dalam. Lalu aku
menikmati setiap kuluman
Stella. Rasanya sudah beberapa tetes spermaku
keluar. Aku benar-benar
dibuat mabuk kepayang
olehnya. Kembali kumasukkan jariku, kali
ini dua jari, jari telunjuk dan
jari tengahku. Pada saat aku
memasukkan kedua jariku,
Stella tampak melengkuh dan
mendesah pelan. Semakin lama semakin cepat aku mengeluar-
masukkan kedua jariku di
lubang kemaluannya dan Stella
beberapa menghentikan
kuluman pada batang
kemaluanku sambil tetap memegang batang kemaluanku.
Entah sudah berapa orang
yang melihat kegiatan kami
terutama para supir atau
kenek truk yang kami lewati,
namun aku tidak peduli. Kenikmatan yang kurasakan
saat itu benar-benar
membiusku sehingga aku sudah
melupakan segala sesuatu.
Kembali Stella menjilat,
menghisap dan mengulum batang kemaluanku dan entah
sudah berapa lama kami
melakukan ini. Kutundukkan
kepalaku untuk melihat yang
sedang dikerjakan Stella pada
kemaluanku. Kali ini Stella melakukan dengan penuh
kelembutan, ia julurkan
lidahnya hingga mengenai ujung
kepala kemaluanku lagi. Ia
memutar-mutarkan lidahnya
tepat di ujung lubang kemaluanku. Sungguh dashyat
kenikmatan yang kurasakan.
Beberapa kali tubuhku
bergetar namun ia tetap pada
sikapnya. Sesekali ia masukkan
semua batang kemaluanku di dalam mulutnya dan ia mainkan
lidahnya di dalam. “Ooh.. Tel…
enakk…” desahku sambil
melepaskan tangan kiriku dari
lubang kemaluannya. Kupegang
kepalanya mengikuti gerakan naik turun. “Stella, aku sudah nggak
tahannn…” kataku agak lirih
menahan ejakulasi. Namun
gerakan Stella makin cepat
dan beberapa kali ia buka
matanya namun tetap mengulum dan terdengar
suara-suara dari dalam
mulutnya. “Aaaagghhh…”
desahku keras diiringi dengan
keluarnya sperma dari dalam
batang kemaluanku di dalam mulutnya. Keadaan mobil kami
saat itu sedikit tersentak oleh
pijakan kaki kananku. Aku
menikmati setiap sperma yang
keluar dari dalam kemaluanku
hingga akhirnya habis. Stella tetap menjilati kemaluanku
dengan lidahnya. Dapat
kurasakan lidahnya menyapu
seluruh bagian kepala
kemaluanku. Ugh, nikmat sekali
rasanya. Setelah membersihkan seluruh spermaku dengan
lidahnya, Stella bergerak ke
atas. Kulihat dia, tampak ada
beberapa spermaku menempel
di sebelah kanan bibirnya dan
pipi kirinya. Aku mulai bergerak memperbaiki posisi dudukku,
perlahan-lahan. Sambil tetap
digenggamnya batang
kemaluanku yang sudah lemas,
Stella beranjak ke atas
melumat bibirku, masih terasa spermaku. Sekian detik kami
bercumbu dan aku
memejamkan mata. Akhirnya ia
merapikan posisinya, ia duduk
dan merapikan pakaiannya. Aku
pun merapikan pakaianku sekedarnya. Aku kenakan
celana panjangku namun tidak
kumasukkan kemejaku. Beberapa hari setelah itu, aku
main ke kost Stella dan pada
saat itu pula kami mengikat
tali kasih. Awal bulan Maret
lalu Stella kembali dari Manado
setelah 2 minggu ia berada di sana dan ia tidak kembali lagi
bekerja di salon itu. Sekarang
kami hidup bersama di sebuah
tempat di daerah Grogol,
sekarang ia diterima sebagai
operator di salah satu perusahaan penyedia jasa
komunikasi handphone.
Sedangkan aku tetap sebagai
animator yang bekerja di
sebuah perusahaan di daerah
Kedoya tapi aku harus meninggalkan kostku. Setelah
kami hidup seatap, Stella
mengakui padaku bahwa
selama enam bulan ia bekerja
di salon itu, ia pernah melayani
pelanggannya dan ia mengatakan bahwa semua
pekerja yang bekerja di salon
itu juga pekerja seks. Stella
tidak mengetahui bagaimana
asal mulanya. Stella sendiri
tidak tahu apakah salon merupakan sebuah kedok atau
seks adalah sebuah tambahan.
Dia mengatakan bahwa untuk
mengajak keluar salah satu
karyawati di situ, seseorang
harus membayar di muka sebesar Rp 500.000. Rasanya
Jakarta hanya milik kami
berdua, tiap malam setelah
mandi sepulang dari kerja atau
setelah makan malam, kami
melakukan hubungan seks. Entah sampai kapan semua ini
akan berakhir dan entah
kapan kami akan resmi
menikah. Kami sungguh menikmati setiap
hari yang akan kami lalui dan
telah kami lalui bersama. Aku
sungguh tidak peduli dengan
asal-usulnya pekerjaan Stella
sebab makin hari aku makin terbius oleh kenikmatan seks
dan mataku seolah-seolah
tertutup oleh rasa sayangku
pada dia.


Tamat

[ back ][ home ]

Cerita terbaru & Video Terheboh

Web Site Hit Counter